Tuesday, July 06, 2010

Untuk Frida Kahlo

Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: "Hidup yang diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada harap. "Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah, ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh...

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam dalam dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue, dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan yang mereka ingkari
dan kedatangan Trotsky.
Mereka berkata, "Tidak, Frida, kau tak apa-apa."
Tapi di alis itu...


di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung

di ragamu tiang patah
di kamar narsoke, ampul tertebar:
sisa sakit dan sejarah

tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan

uluhati yang tercerabut
tapi terbang, menjemput Maut
adalah seorang perempuan

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan kertas-kertas - manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua berkata, "Tidak, Frida, kau, kita,
juga Diego Riviera, telah berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia sudah tak seperti dulu."

Bukan apa-apa...

tapi di matamu kaulihat
piramid-piramid sakit
mencari air kaktus
pada pucat langit

lalu kaulukiskan airmatamu,
seperti mutiara dan
putih cuka
di tembikar kulitmu

Di atasnya para santo
dan wajah Diego: praba dan cahaya
yang membakar kekal
mimpi Meksiko

Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup, seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan - yang telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua - tak ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan: elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih yang tetap bersih dari Noguchi ( di dada seorang perempuan, di Manhatan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut cemerlang, bunuh diri)

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya - sebelum orang mengangkatnya ke api kremasi - ada seorang yang datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, "Frida, kau adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di percakapan dan ranum pisang dalam sajian
makan malam. Kau tergetar kepada apa yang sebentar."


Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak tahu telah berubah lazuardi.

"Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang sementara?" Benar, begitulah ia pernah bertanya.


1993-1994