Saturday, April 14, 2012

Belajar Dari Pantun

Pidato untuk Hari Jadi Sastrawan Negara dan Profesor Emeritus Muhammad Haji Salleh; Penang, 14 Maret 2012.
Tak perlu saya uraikan panjang: hari ini saya mendapatkan kehormatan dan kebahagiaan sekaligus. Diundang untuk menyajikan sesuatu pada ulangtahun ke-70 seorang sastrawan terkemuka yang dihormati dalam masyarakat sastra Melayu di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, berarti sebuah kepercayaan yang istimewa. Berada di tengah kegembiraan mendampingi Muhammad Haji Salleh di hari kelahiran beliau merupakan sebuah bonus, sebuah karunia tambahan, yang tak datang sembarang waktu.
Sebagai seorang yang satu generasi -- saya lebih tua beberapa belas bulan -- saya sadar, usia 70 tidak akan pernah datang buat kedua kalinya. Pada titik ini, ujung jalan di depan itu sudah tampak; tiap kali hari bertambah, kita pun kian mendekat ke sana.
Dan hari tak akan berulang. Saya selalu berpendapat bahwa kata 'ulang tahun' dalam bahasa Melayu-Indonesia untuk 'birthday' adalah sebuah kesalahan. Tanggal 26 Maret tidak berulang di kurun yang berbeda. Tiap tahun adalah tahun baru. Sebab itu sebuah ucapan jenaka dalam bahasa Inggris ada benarnya: 'Birthdays are good for you; the more you have them, the longer you live.'
Dengan mengutip itu, saya ingin mengucapkan selamat kepada Muhammad Haji Salleh, seraya berdoa, semoga tahun baru ini setidaknya akan memberi cabaran dan kesempatan bagi beliau untuk melahirkan karya-karya yang cemerlang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Karena itulah dalam kesempatan ini saya tak akan sekedar mengenang buah tangan Muhammad Haji Salleh, seperti galibnya orang memperingati seorang yang usianya di atas setengah abad. Saya akan mengenang karya beliau, tetapi juga ingin mengembangkannya -- sebagai tanda penghargaan saya kepada yang telah disumbangkannya kepada kesusastraan kita.
Demikianlah, dalam kesempatan ini saya memilih untuk berbicara tentang pantun -- bentuk ungkapan sastra yang dikenal akrab baik di Malaysia maupun di Indonesia, yang berkat telaah Muhammad Haji Salleh yang original dan perseptif, bertambah jelas nilainya bagi kita.
Tidak mengherankan bila kita bukan saja mendapatkan pantun dalam permainan anak-anak. Kita juga menemukannyab dalam karya penyair dan penulis lakon terkemuka. Pantun tak hanya mengutarakan pemikiran, tapi juga, seperti dikatakan Muhammad dalam eseinya, 'Estetika Pantun Melayu', 'perasaan, kesenian dan perkelilingannya,' dan semua itu 'dikutip' dalam 'jumlah yang besar, rinci lagi dalam'.
Dengan petunjuk yang disebut dari telaah itu, saya akan mengambil dua pasal kearifan di antara sekian pasal lain yang saya anggap dapat dipetik dari pantun.


Pertama: Tentang Tafsir dan Khaosmos.
Kita tahu, pantun tak akan lepas dari dua bagian kuatrin ini: yang pertama 'sampiran' (atau 'pembayang') dan yang kedua 'isi' ('maksud').
Muhammad Haji Salleh telah meninjau dengan analisis yang peka dan mendalam apa yang terkandung dalam kedua bagian itu; saya tak akan mengulangi semuanya. Saya hanya ingin mengambil satu segi: kontras antara bagian 'pembayang' dan bagian 'maksud'. Bagian pertama pantun, kata beliau, mengandung 'goncangan citra surrealistik'; bagian 'maksud' mengungkapkan 'kesan penenang'.
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang di tapak tangan;
Sungguh jauh di negeri satu,
Hilang di mata di hati jangan
Menyebut 'goncangan citra surrealistik' tepat sekali buat dua kalimat awal tadi. Kita tak akan pernah dengan persis menemukan hubungan yang masuk akal antara 'pucuk pauh' dan 'delima batu', apalagi kemudian ditambah, 'anak sembilang di tapak tangan'. Masing-masing mengesankan sebuah benda atau imaji (citra) yang terlepas sendiri. Mengikuti Muhammad Haji Salleh, tapi dengan rumusan yang sedikit berbeda, saya akan mengatakan, dalam 'sampiran' atau 'pembayang' itu kita bersua dengan sejenis khaos.
Lebih jelas lagi tentang itu adalah yang kita dapatkan dalam Kapai-Kapai, lakon Arifin C. Noer yang terkenal itu. Ia menggunakan elemen khaos dalam 'pembayang' itu dengan lebih kentara, ketika dua perannya berdialog dengan pantun:
Pepaya bunting isinya setan
Dimakan dukun dari Sumedang
Perut aye bunting isinya intan
Ditimang sayang anak disayang

Pohon pisang tidak berduri
Pagar disusun oleh rembulan
Mohon abang lahir si putri
Biar disayang setiap kenalan.
Tapi seperti tampak di sana, setelah 'pepaya bunting isinya setan' dan 'pagar disusun oleh rembulan', segera menyusul dua baris bagian 'maksud' atau 'isi' untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dalam kata-kata Muhammad Haji Salleh, itu adalah sesuatu yang 'menenangkan fikiran kita.' Walhasil, setelah 'guncangan citra surrealistik' yang 'khaotik', kita masuk ke dalam sebuah kosmos, sebuah tata yang tenang. Di sini, hubungan antara kata lebih langsung membentuk makna.
Muhammad Haji Salleh mengatakan, dalam pantun ada keadaan 'samukur' yang ibarat 'dua bahagian kertas yang oleh dilipat.' Tapi mungkin kita juga dapat melihat hubungan antara 'sampiran' dan 'isi' sebagai sebuah dialektika. Maksud saya, sebuah proses pertentangan atau kontras yang akhirnya membuahkan 'tempuk-junjung', (terjemahan saya atas pengertian yang dalam bahasa Jerman disebut Aufhebung, atau dalam bahasa Inggris sublation). Dengan kata lain, tempuknya kedua anasir itu -- 'sampiran' dan 'isi' -- akhirnya menjunjung sesuatu yang baru.
James Joyce, dalam Finnegan's Wake menyebutnya chaosmos, perpaduan antara 'khaos' dan 'kosmos'. Di sana yang tak beraturan, yang liar dan tak terduga, campuh dengan sebuah tata, sebuah tertib, sebuah ketenangan.
Tentu saja harus segera ditambahkan: sebenarnya, tak ada yang mutlak. Jika kita dengarkan pantun sebagai sebuah bangunan yang satu, sebagai Gestalt, kita akan merasa bahwa dua bait 'pembayang' itu tak seluruhnya 'khaotik'. Muhammad Haji Salleh menyebut adanya 'kod-pembayang' yang tak jarang terasa kuat di dua kalimat itu. Seperti dikatakan Za'ba, yang dikutip Muhammad Haji Salleh, dua baris pertama itu mengandung 'tujuan yang dimaksudkan'. Dengan catatan, tujuan itu 'telah ada terbayang di situ, tetapi tiada terang, seolah-olah sengaja ditudung...'
Dari analisis Za'ba kita akan menerima bahwa kata 'pembayang' memang tepat sekali -- lebih tepat ketimbang kata 'sampiran'. 'Pembayang' menyarankan adanya hubungan pengaruh yang wajar, sedangkan 'sampiran', mengesankan sebuah ornamen yang aksidental.
Boleh juga diduga bahwa setidaknya kedua baris 'pembayang' itu memberi peluang bagi pendengar/pembaca pantun untuk merasa adanya sebuah makna, sebuah 'kod' -- walaupun mungkin 'kod' itu sebenarnya tak dimaksudkan oleh si penggubah pantun. Bagaimana pun juga, ada tata yang menyelinap di dalam khaos yang hadir dalam dua baris pertama itu:
Kembang diuca balik beroleh
Tambang garam di dalam sekoci
Dipandang sahaja diambil tak boleh,
Bertambah geram di dalam hati
Sebagaimana galibnya, dan sudah pula kita singgung di atas, dalam dua kalimat pertama, kita seakan-akan diberi sebuah teka-teki dengan kata-kata yang makna semantiknya tak padu (koheren). Apalagi bila kita tak mengerti apa arti kata 'diuca,' misalnya. Tapi terasa, baris-baris itu menginterupsi ketidak-paduannya sendiri dengan sebuah metrum yang rancak: jumlah suku kata kedua frase itu sejajar. Atau khaos yang kita rasakan dalam paduan imaji-imaji dalam 'pembayang' dipadukan, menjadi terarah, berkat permainan asonansi dan aliterasi.
Meskipun demikian, dialektika antara khaos dan kosmos itu tetap, dan tak pernah usai. Tempuk-junjung yang tercapai, khaosmos itu, tak pernah stabil. Muhammad Haji Salleh menyebut dalam komposisi pantun tersirat teknik 'ganggu-dan-tenangkan'. Saya ingin menambahkan bahwa khaos yang meng-'ganggu' selamanya seperti menyusup dan membuat tata yang menenangkan itu guyah. 'Pembayang' yang mengandung sesuatu yang 'ditudung' itu tak akan uzur sehabis 'maksud' pantun itu muncul dan dikomunikasikan. Itu sebabnya sebuah pantun akan dikenang bukan hanya karena maknanya. Sebuah pantun hidup terus justru karena ia lekat dengan 'pembayang' yang seakan-akan tak mempedulikan makna.
Dari situlah kita boleh menelaah lebih jauh. Pantun adalah sebuah gejala bahasa yang pra-diskursif: manusia, yang tak hanya menggerakkan bahasa tetapi juga digerakkan bahasa, tak pernah berada dalam ekspresi dan komunikasi verbal yang sepenuhnya dibangun oleh makna yang jernih dan persis. Ego cogito, 'aku-yang seutuhnya-dalam-keadaan-berpikir,' tak pernah terjadi. Impian Descartes untuk mencapai gagasan yang clair et distinct tak akan pernah sampai.
Dalam Yang Indah, Berfaedah dan Kamal, Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, V.I. Braginsky mencoba merekonstruksi kaidah-kaidah penciptaan sastra dalam teks-teks Melayu Klasik. Ia menyimpulkan bahwa bagi teks-teks ini peran 'akal' sangat penting. 'Akal' itu pula yang mengendalikan 'citra-citra' sesuai arahannya.
Braginsky mungkin sekali benar -- tapi ia tak berbicara tentang pantun. Ia berbicara tentang syair dan hikayat. Pada hemat saya, yang membedakan pantun dari syair adalah intensitas dorongan (impuls) puitik yang lebih kuat pada pantun -- dorongan yang tak dikendalikan akal, bahkan lebih dekat ke bawah sadar, yang oleh Kristeva disebut 'le sémiotique'. Dorongan itulah yang menggerakkan ritme, dan ritme itulah yang, dalam baris-baris pantun, membentuk rentak, seperti beat dalam musik, yang diterjemahkan dalam metrum. Dorongan puitik itu pula yang melahirkan kecenderungan 'surrealistik' kalimat-kalimatnya.
Dalam menguraikan kaidah sastra Melayu Klasik itu, Braginsky tak menyebut pengaruh pandangan Yunani (melalui Aristoteles dan Plato) dalam risalah-risalah Timur Tengah (Islam) yang jadi sumber kaidah-kaidah itu -- sebuah pandangan yang pada dasarnya tak meletakkan puisi sebagai sesuatu yang mandiri. Puisi, dalam pandangan itu, termasuk pandangan Abd al-Qadr al-Jurnani, hanya varian dari pemikiran. Sebagai demikian, di dalamnya kata dianggap sepenuhnya konsep. .
Susunan kata lebih dilihat sebagai lafz yang mematuhi makna, dan makna itu ditentukan akal. Makna (ma'ani) adalah 'penguasa kata yang sebenarnya', tulis Braginsky mengikuti al-Jurjani.
Al-Jurjani melihat garis lurus antara akal, makna, dan kata. Derrida akan menyebutnya 'logosentris'. Dalam pandangan seperti ini, kata dianggap sepenuhnya diisi makna yang stabil, berlaku tetap. Anggapan ini tak selamanya benar. Setidaknya kaidah al-Jurjani tak tak berlaku untuk pantun. Pantun tak seutuhnya melalui jalan lurus yang berangkat dari akal ke makna. Pantun berangkat dari pengalaman yang kongkrit, bukan dari alam pikiran yang bersih dari persentuhan dengan dunia.
Dengan pengalaman dalam dunia kehidupan itu, bahasa pantun mencerminkan percakapan yang hidup: percakapan dengan metafora. Metafora, berbeda dari konsep, tak menawarkan makna yang sepenuhnya solid. Makna itu bergeser dalam waktu. Maka dialog antar manusia tak pernah berakhir. Tapi dialog yang tak pernah berakhir itu tak dirasakan sebagai sesuatu yang itu-itu juga -- karena para pengujar jawab menjawab, sambut menyambut, dari dalam posisi yang tiap kali berubah, tiap kali berbeda.
Itu sebabnya belajar dari pantun kita tahu, pertemuan antar manusia tak berlangsung dengan bahasa di dataran yang abstrak, bahasa dengan kepastian konsep-konsep. Belajar dari pantun kita tahu, di dunia kehidupan, manusia mampu melampaui aku-nya yang sendiri -- tapi bukan dengan kapasitas intelektualnya.
Mari kita dengarkan pantun ini:
Dari ladang mandi di gurun
Mandi berlimau bunga lada
Hari petang matahari turun
Dagang berurai air mata.
Kita tak kenal siapa perantau yang menangis itu. Mungkin si dia, mungkin anda, atau saya. Di sini, suasana hati itu sesuatu yang kongkrit tapi sekaligus universal. Tampaknya hanya dengan empati, dengan Einfuhlung, kita dapat memahami itu -- ketika kita ikut merasakan kesedihan itu. Hanya dengan keterbukaan hati dan fikiran untuk ikut merasakan apa yang dirasakannya kita dapat menjangkau orang lain.
Kedua: Tentang Makna dan Ritme.
Dalam telaahnya tentang pantun, Muhammad Haji Salleh menyebut sebuah adat istiadat orang Mandailing yang beliau dengar dari seorang peneliti Amerika. Adat istiadat itu agaknya merupakan 'arketaip pantun' dalam bentuk non-verbal: anak-anak muda Mandailing menghantar bungkusan ranting-ranting, daun-daun, dan bunga sebagai simbol atau kiasan untuk maksud yang ingin disampaikan kepada kekasih mereka.Biasanya maksud ini dicapai melalui rima bunyi nama daun atau ranting yang dihantar itu dengan perkataan dalam bahasa Mandailing.
Bila ditelaah lebih jauh, sebenarnya laku itu tidak murni non-verbal: benda-benda itu dihadirkan karena namanya, dan nama itu terkait dengan bunyi nama itu dalam bahasa setempat. Tapi bayang-bayang dunia bahasa pada dunia benda-benda itu menunjukkan bahwa yang verbal bertaut dengan sesuatu yang meskipun tak dikatakan punya daya yang menghidupkan ekspresi.
Dalam variasi lain, kita menemukannyadalam sebuah contoh yang diberikan Fauconnier dalam The Soul of Malaysia dan dikutip oleh Braginsky:
"Osman: "Dari mana datangnya lintah?"
Mat (sambil merenung): "Galah patah di bukit..."
Osman (menyangkal): "Apa guna pasang pelita?"
Mat (sambil tertawa ironis): "Tumbuh limau di seberang..."
Percakapan itu bukanlah dialog dari sebuah teater absurd. Itu, tulis Braginsky, 'percakapan biasa di antara dua bujang, yang seluruh artinya akan dipahami orang-orang sekampung mereka'. Orang sekampung akan tahu, Osman dan Mat memetik larik-larik pertama beberapa buah pantun terkenal. Saya ambil dua:
Dari mana datangnya lintah?
(Dari sawah terus ke kaki.
Dari mana datangnya cinta?
Dari mata terus ke hati')
Apa guna pasang pelita,
(Kalau tidak ada sumbunya?
Apa guna bermain mata,
Kalau tidak ada sungguhnya?)
Dengan kata lain, makna merupakan hasil proses interaksi antara yang terutarakan dan yang tersimpan dalam endapan pengalaman. Lebih tepat lagi: dalam endapan pengalaman bersama. Makna tak ditentukan oleh sebuah subyek dengan alam pikiran yang mandiri, tegas, tapi terasing. Dunia di luar seorang penggubah pantun mempunyai daya dan dinamikanya sendiri. Sang penggubah pantun mau tak mau harus berhadapan dengan, untuk meminjam kata-kata Marx, 'tradisi dari semua generasi yang telah mati' yang terus berdiam 'di kepala generasi yang masih hidup.'
Dengan kata lain, tradisi -- dari endapan pengalaman kolektif -- memegang peran penting. Tapi tradisi ini juga, sebagaimana halnya bahasa, tak pernah sepenuhnya transparan. Ia selalu ditafsirkan kembali tak putus-putusnya. Tradisi yang membentuk pantun bukan setegar sebuah doktrin. Ia tak kedap.. Di celah-celah tradisi yang harus dan dapat ditafsirkan (dan dibentuk) kembali itu, seorang penggubah pantun, sebagaimana laiknya seorang pencipta, merdeka.
Berbeda dari penyair abad ke-20, para penggubah pantun mungkin tak menyadari sepenuhnya kemerdekaan ini. Tapi saya kira, tiap pencipta pantun yang menghasilkan kata-kata yang segar dan tulus, bermula dari dalam sebuah momen kemerdekaan. Terutama dalam cetusan yang spontan.
Pantun, berbeda dari syair dan hikayat, adalah ungkapan sastra yang menunjukkan bahwa spontanitas itu tak mustahil. Puisi ini dapat lahir dari permainan anak-anak atau tercetus dari perjumpaan yang seketika. Pantun tidak terjadi sebagai sebuah konstruksi arsitektural.
Sebuah bangunan bermula dari sebuah ide, dan dengan ide itu diturunkanlah sebuah desain, dan desain itu diikuti oleh struktur yang dihitung, yang akan diikuti himpunan bahan-bahan yang dihitung pula. Dengan kata lain, seorang perancang bangunan melihat dunianya -- tanah, batu, kapur, pasir, baja dan besi -- dan juga sudut pandangnya sendiri, sebagai sesuatu yang pasti, dari sebuah jarak.
Seorang pemantun tidak demikian. Ia berhubungan dengan alam sekitarnya dan orang lain dalam keadaan serba mungkin, contingent: laut, kembang, burung, kekasih, perasaan hatinya dan bahasa yang dipakainya, saling menyentuh dan mengubah. Seorang pemantun tak berada di sebuah 'titik Archimides' yang memungkinkannya memandang dunia dengan mata malaikat. Ia berbahasa bersama tubuhnya, bersama hasrat-hasratnya, juga bersama pertautannya dengan manusia lain -- pendek kata, bersama dunia pribadi dan sosialnya dalam ruang dan waktu yang fana.
Pada suatu saat dalam proses kreatif, sang pemantun memang seakan-akan berdiri tegas sebagai subyek yang mengatasi (dan kadang-kadang menafikan) kata, metafor, tamsil dari alam -- bahan-bahan yang tersedia untuk ekspresinya. Itu juga saat kemerdekaannya. Tapi ia tak menaklukkan semuanya, baik untuk dimanfaatkan ataupun dibuang. Seperti saya singgung di atas, dunia di luar sang pemantun, di mana juga hidup orang lain, punya daya dan dinamikanya sendiri.
Maka kemerdekaannya tak beda dari kemerdekaan manusia umumnya: sanggup membentuk sesuatu yang baru namun tak sanggup membentuknya sesuka hati.
Itu sebabnya dalam penciptaan sastra, orang tak hanya menggunakan bahasa yang ditemukannya, tapi juga bahasa yang menemuinya. Bahkan Sutardji Calzoum Bachri sekalipun --dengan sajak-sajaknya yang segar, mengejutkan, memukau, dengan kredo puisinya yang ingin memerdekaan kata dari makna -- tak dapat melaksanakan agenda itu sepenuhnya. Marleau-Ponty mengingatkan kita bahwa manusia bukan saja 'dihukum untuk merdeka', tapi juga 'dihukum ke dalam makna'. Mau tak mau, suka tak suka, dalam berkata-kata ataupun diam, kita memberi dan menerima makna.
Tentu saja harus ditambahkan: makna itu tak seluruhnya tersimpan dalam logos (isi kognitif dari kata). Ia juga berproses dalam lexis, dalam cara bagaimana kata-kata disampaikan. Bahkan juga dalam tiadanya kata-kata. Bahasa, atau khususnya pantun, ibarat sebuah roda. Kata-kata adalah jari-jarinya, tapi di antara jari-jari itu ada ruang kosong -- yang meringankan tubuh roda hingga lancar berputar. Dengan kata lain, ruang kosong itu -- dalam bahasa berarti tiadanya kata-kata -- merupakan bagian integral dari proses pemaknaan.
Maka pembedaan antara logos dan lexis yang terkenal dari risalah Aristoteles tentang retorika tak berlaku di sini. Dalam pengalaman mengubah dan menikmati pantun, arti kata berbaur, campuh, atau saling mendorong dengan cara kata itu disusun secara tertulis atau lisan. 'Apa'-nya tak menentukan 'bagaimana'-nya. Lafaz tak hanya mematuhi ma'ani; ia ikut melahirkannya.
Dalam hal ringkasnya pantun, misalnya. Boleh jadi ini pelaksanaan estetika Melayu Klasik yang memujikan 'kalam mukhtasar tiada dibuat' -- cetusan pendek, tak bertele-tele, yang tidak artifisial. Tapi pada hemat saya, bentuk yang ringkas itu bukan sekedar wadah yang pasif yang dirancang untuk menampung isi. Keringkasan bentuk itu lahir serentak dengan dorongan hati yang hendak dengan tangkas menyentuh kita dalam humor, permainan, cemooh, teka-teki, atau kasih sayang.
Sebuah contoh:
Pinggan tak retak,
Nasi tak dingin.
Tuan tak hendak,
Kami tak ingin.
Tiga kata dengan masing-masing lima suku-kata itu menegaskan daya tolak yang lugas ('Tuan tak hendak','Kami tak ingin'), yang tak berputar-putar. Andaikata sikap yang lebih sabar yang jadi penggerak hati, frase yang tersusun akan lebih panjang dengan efek performatif yang berbeda.
Lebih dari pendek-panjangnya kalimat adalah bunyi. Bunyi kata dalam pantun tak dapat dianggap sesuatu yang dipasang di tahap kemudian dalam proses kreatif. Bunyi itu menyeruak sebagai bagian integral dari dorongan emotif. Ia bukan sekedar hiasan lahir untuk mempercantik cara ('bagaimana') ekspresi:
Kerengga di dalam buluh,
Serahi berisi air mawar.
Sampai hasrat di dalam tubuh,
Tuan seorang jadi penawar.
Bunyi 'uh' dalam pantun itu terdengar jelas. Ia cetusan, bukan hanya gema, dari hati yang berkeluh, yang juga kita dapatkan dalam sajak Chairil Anwar, 'Doa': 'Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh'.
Tak kurang dari itu kita menemukannya dalam pantun yang amat disukai Muhammad Haji Salleh ini:
Air yang dalam bertambah dalam,
Hujan di hulu belum lagi teduh.
Hati yang dendam bertambah dendam,
Dendam dahulu belum lagi sembuh.
Saya ingin menambahkan satu catatan di sini: ada yang istimewa dari pantun ini. Ia menyentuh hati dan imajinasi kita karena ia adalah paduan bunyi dan imaji. Dari dua baris pertama kita dibawa ke sebuah pemandangan sungai, atau telaga, yang gerak airnya membuat gundah, karena hujan turun tak berkesudahan. Citra ini sebuah contoh baris 'pembayang' yang mengelakkan potensi khaotiknya sendiri, untuk membentuk suasana kegundahan hati yang berlanjut ke dalam dua baris terakhir.
Begitu pula citra pada pantun yang saya kutip lebih dahulu. 'Kerengga', semut hitam, yang merayap dalam buluh yang tertutup, adalah sederet imaji yang menyarankan penantian, kesabaran yang cemas, dan harapan yang mungkin buntu. Sebaliknya 'air mawar' adalah sebuah citra kesegaran dan suasana riang.
Dalam telaahnya yang termashur, Orality and Literacy, Walter Ong mengatakan bahwa tanpa tulisan, 'kata sebagai kata tak punya kehadiran visual, bahkan ketika obyek-obyek yang mereka gambarkan bersifat visual'. Pada hemat saya, kesimpulan itu tak tepat. Pantun di atas -- yang sangat akrab dengan budaya lisan -- menghadirkan sesuatu yang visual dalam imajinasi kita. Bunyi dan imaji hadir serentak, dalam khiasma.
Khiasma: istilah ini saya pungut, dengan tafsir yang longgar, dari ilmu genetik. Chiasma: titik atau saat yang mempertautkan dua kromosom yang tak serupa dalam lintasan yang bersilangan; di saat itu keduanya saling bertukar bahan-bahan genetik selama terjadi meiosis. Demikianlah ibarat dua kromosom itu, daya auditif -- katakanlah 'musik' pada pantun -- bertemu, bertaut, bertabrakan, saling-silang, saling mengisi, dengan daya visual dari imaji-imaji yang muncul.
Itulah peristiwa puitik.
Tentu harus ditambahkan: peristiwa puitik itu tak akan terjadi andai tak ada ritme. Dalam pantun, ritme menggerakkan seluruh bait dalam metrum, dalam arti jumlah dan perbandingan suku kata yang teratur, dan naik-turunnya suara yang mengikuti itu.
Adapun ritme mempunyai dua sisi. Di satu sisi, ketika ritme diterjemahkan dalam metrum, ia seakan-akan statis dan membatasi. Di sisi lain, ia dinamis. Ia membuat pantun seakan-akan berada dalam arus yang bergelombang. Ia memberi bunyi dan imaji rasa 'sukacita' dalam gerak. Dalam kata-kata Tagore, 'Metre controls poetry, but it gives it "joy of motion"'.
Paradoks itu juga yang menjelaskan mengapa ritme di satu pihak meneguhkan makna dan di lain pihak mencairkannya. Dalam pola yang berulang, melalui metrum, bunyi, dan nada, seperti dalam musik, makna terbentuk. Tapi ritme dalam gerak juga membuat makna mengikuti 'the joy of motion,' memasuki konteks emosi yang berubah, bersama tubuh dan suasana alam yang terbawa waktu.
Itu sebabnya mustahil makna membeku. Pantun adalah sebuah pemaknaan-dalam-proses. Ia 'sebuah dunia yang menjadi', untuk meminjam kata-kata Chairil Anwar tentang sajak.
Sebagai dunia yang menjadi adalah sebuah dunia yang selalu lahir kembali. Itu sebabnya pantun, juga pantun percintaan yang telah berkali-kali ditulis di beberapa zaman, tak jadi usang. Sitor Situmorang membuktikannya dalam salah satu sajaknya yang memukau ini:
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Demikian pula ketika Muhammad Haji Salleh memunculkan pantun yang terkenal dari Sejarah Melayu ke dalam karyanya yang monumental, Sajak-Sajak Sejarah Melayu. Dalam 'ceretera yang kesembilan', bait itu terasa sebagai, segar, original -- walaupun tiap kata persis sama:
telur itik dari senggora,
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di singapura
badannya terlantar di langkawi
Rasanya benar yang dikatakan Alfred North Whitehead: 'Tak ada pemikir yang berpikir dua kali, dan...tak ada subyek yang mengalami sesuatu dua kali'. Tiap pengulangan adalah perbedaan.
Itu sebabnya tak ada pantun yang mati, biarpun sekali. Ia selalu terlahir baru. Kreasi yang sejati tak akan hanya jadi sebuah hasil jasad yang didaur-ulang.
Maka saya percaya, dalam usia beliau sekarang, Muhammad Haji Salleh -- dan karya-karyanya -- akan menemui kita, menggugah kita, seperti cahaya pagi yang tiap hari datang.
Akhirul kalam, kepada beliau saya ucapkan: selamat hari jadi.
Terima kasih.
Goenawan Mohamad