Sunday, November 25, 2012

Tujuh Puisi



Tentang Usinara

Usinara, yang menyerahkan jangat dan darahnya untuk menyelamatkan seekor punai yang terancam kematian, tahu dewa-dewa tak pernah siap. Mereka makin tua.  Langit menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka sejak cinta dibunuh. Timbangan terlambat. Telah tujuh zaman asap & api penyiksaan mengaburkan mata siapa saja.

Di manakah batas belas, Baginda?  "Mungkin tak ada", jawab Usinara.  Ia hanya menahan  perih di rusuknya ketika tujuh burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh, bukan satu ), merenggutkan dagingnya,  selapis demi selapis.

Sering aku bayangkan raja yang baik hati itu tergeletak di lantai, memandang ke luar pintu, melihat debu sore dan daun-daun yang pelan-pelan berubah ungu.  Ia ingin punai itu segera lepas. "Ayo, terbang. Aku telah menebus nyawamu", ia ingin berkata.  Tapi suaranya tak terdengar.

Sementara itu, di sudut, si punai menangis:  "Tak ada dewa yang datang dan mengubah adegan ini jadi dongeng!". Usinara hanya menutup matanya.  Ia tahu kahyangan adalah cerita yang belum jadi.


2012




Tentang Maut


Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.

Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.

Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.

Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya di ujung gang dan berjalan tak menentu.

Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit
yang meluap.

Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.

Atau hampir putus.

2012





Di Antara Kanal

Jarimu menandai sebuah percakapan
yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong dan gelas sauvignon blanc
yang akan ditinggalkan.

Di kiri kita kanal  menyusup
dari laut.  Di jalan para kelasi
malam seakan-akan biru.
"Meskipun esok lazuardi", katamu.

Aku dengar. Kita kenal
kegaduhan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yang sebentar.

Seseorang pernah mengatakan
kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.

Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
Kota ini," katamu. "adalah jam
yang digantikan matahari.

2012







Tentang Chopin

Kembali ke nokturno,  katamu.  Aku inginkan Chopin.
Seperempat jam  kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga. 
Malam telah melukai mereka. 
Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan sedih adalah bagian dari ketidak-tahuan.  Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau, yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek, yang terburu,  akan gagal. Di mana kota itu?  Siapa yang meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu? 
Semua yang kembali
hanya menemuimu
pada mimpi yang tersisa
di ruas kamar...

Coba dengar, katamu lagi,
apa yang datang dalam No. 20 ini? 


Di piano itu seseorang memandang ke luar
dan mencoba menjawab: 
Mungkin hujan. Hanya hujan.

Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.

2012


 Aktor

              --  untuk Moh. Sunjaya

Aktor terakhir menutup pintu.
"Caesar, aku pulang."
Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan.             

Siapapun pulang. Meski pada jas
dengan punggung  yang berlobang
ia masih rasakan ujung pisau itu
menikam dan akordeon bernyanyi

pada saat kematian. Ia masih ingat
kalimat di adegan ke-4,
tentu saja. Tapi ia tak ingin
mengulanginya.


"Teater,"  sutradara selalu bergumam,
"hanya kehidupan dua malam."
"Tapi tetap kehidupan", ia ingin menjawab.
Ia selalu merasa bisa menjawab.


Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata.
Tapi pada tiap reruntukan panggung
ia lupa kata-kata.

Pada tiap reruntukan panggung
ia hanya ingin tiga detik -- tiga detik yang yakin:
dalam lorong Kapai-Kapai,  Abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi.

Ia tak menyukai melankoli.


2012








Rite of Spring

Tari itu melintas pada cermin:
bagian terakhir Ritus Musim.
Gerak gaun --  paras putih --
tapak kaki yang melepas lantai...

23 tahun kemudian  di kaca ia temukan
wajahnya. Sendiri. Terpisah dari ruang.
Lekang, seperti warna waktu
pada kertas koreografi.

Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.
"Aku tak seperti dulu," katanya,
"tapi di fragmen ini kau memerlukan aku.
Aku -- hantu salju."

Suaranya pelan.  Seperti derak tulang
ketika di ruang latihan itu
tak ada lagi adegan.
Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ.

2012




Yang Tak Menarik Dari Mati

Yang tak menarik dari mati
adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.

Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.


 2012