Saturday, February 22, 2014

Marco Polo


 
Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang,
jam 6 pagi di musim gugur,   beberapa abad kemudian.



I

Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi
camar pertama. Di parapet jembatan itu
tak bisa ia baca lagi  beberapa huruf tua
yang menyela kabut
sepanjang kanal.

Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam 
mendaki tangga batu yang bersampah.

Dan Marco Polo tak tahu pasti
apakah perempuan itu bernyanyi
di antara desau taksi air.
Apakah ia bahagia.

Atau ia hanya ingin menemani  seorang hitam
yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu
di depan kedai pizza, selama angin
merekatkan  gerimis.

"Kalian datang dari mana?,"  pengelana Venezia itu bertanya.

"Tidak dari jauh,"  jawab perempuan itu,
"Tidak dari jauh,"  jawab orang hitam itu.

Dan camar pertama itu terbang.

Ia pernah kenal pagi seperti ini:
pagi yang dulu tak menghendakinya pergi.




II

Bau kopi pada cangkir
sebelum kantin membuka pintunya,
bau lisong pada kursi
yang  masih belum disiapkan:
yang tak berumah di kota ini
tak akan pernah memulai hari.





III

Dua jam ia coba  temukan tanda delima
yang pernah diguratkan diujung tembok
lorong-lorong sempit.

Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,
tak lagi menengok
ke arahnya.






IV

Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika
malaikat tak bertubuh
menemukan gamis yang dilepas.

"Adakah kau lihat,
seseorang telah menemukan seseorang lain
dan berjalan telanjang
ke arah surga?"

Tak ada yang menjawab.
Hanya Marco Polo  yang ingin menjawab.
Tapi dari serambi kafe
orkes memainkan La Cumparsita
dan kursi-kursi putih menari
tak kelihatan, sampai jauh malam

Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja,
seorang turis tua berkata: "Akan kubeli topi Jepang
yang dijajakan pada rak, 
akan kupasang
ke kepala anak yang hilang dari emaknya."





V

Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali
masih melontarkan benda bercahaya
ke menara lonceng.  "Malam belum selesai", kata mereka,
"malam belum selesai."

Marco Polo mengerti.
Ia teringat kunang-kunang.




 
 VI

Cahaya-cahaya
setengah bersembunyi
pada jarak 3 kilometer dari laut

Dan di laut itu
terbentang
gelap aneh yang lain.

I must be a mermaid, Rango. I have no fear of depths
 and a great fear of shallow living. Anaïs Nin





VII

Esoknya hari Minggu, dan dibilik Basilika padri itu bertanya:
"Tuan yang lama bepergian,  apa yang akan tuan akui sebagai dosa?"

Marco Polo:  "Iman yang tergesa-gesa".

"Saya tak paham."

Marco Polo: "Aku telah menyaksikan kota yang sempurna.
Dindingnya dipahat dengan ekses dan peperangan
di mana  tuhan tak menangis."




VIII

Di Hotel Firenze yang sempit
Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.

Ia terbangun.

Ia lapar,
ia tak tahu.
Ia kangen.
ia tak tahu.

Ia hanya tahu ada yang hilang dari slimutnya:
warna ganih, bau sperma,
dan tujuh remah biskuit
yang pernah terserak
di atas meja.





IX

Pada jam makan siang
dari ventilasi kamar
didengarnya  imigran-imigran Habsi
bernyanyi,

Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa,
aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok,
aku akan lepaskan perahu dari kering.

Di antara doa dan nyanyi itu
derak dayung-dayung gondola mematahkan
sunyinya.




X

Sebulan kemudian.
Di hari Senin itu
musim mengeras tua
dan Marco Polo membuka pintu.

Cuaca masih gelap.
Jam 6 pagi. 
Biduk akan segera berangkat.

"Tuanku, Tuhanku,
aku tak ingin pergi."
Ia berlutut.

Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang
dengan paras orang mati.



__


2013



Saturday, February 08, 2014

Sjahrir, Di Sebuah Sel


     --untukRudolf Mrazek


Dari jendela selnya, 
(kita bayangkan ini Jakarta,
Februari 1965, dan ruang itu lembab,
dan jendela itu rabun),
ia merasa siluet pohon
mengubah diri jadi Des,
anak yang berjalan dari selat
memungut cangkang nyiur,
dan melemparkannya
ke ujung pulau.

"Aku selalu berkhayal tentang selat,
atau taman kembang, atau anak-anak."

Itu yang kemudian ditulisnya
di catatan harian.

Maka ditutupkannya daun jendela
dan ia kembali ke meja,
ke peta dengan warna laut
yang tak jelas lagi.

Ia cari kapal Portugis.

Tapi Banda begitu pekat, dan laut
menyembunyikan ingatannya.

(Seorang pemetik pala
pernah mengatakan itu
di sebuah bukit
kepada Hatta).


Kini ia mengerti: juga peta
menyembunyikan ingatannya,
seperti malam Rusia
menyembunyikan sebuah kota.
Tiap pendarat tak akan
mengenali  letak dangau,
jejak ketam pasir, 
batang rambai yang terakhir,
di mana sisa hujan
agak disamarkan.

"Sjahrir. Bukankah lebih  baik lupa?"

Seekor ular daun pernah menyusup
ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,
"Mungkin. Mungkin aku tak akan mati."

Esoknya ia berlayar.
Di jukung itu anak-anak mengibarkan
bendera negeri yang belum mereka kenal.

"Lupa adalah...."

"Jangan kau kutip Nietzsche lagi!".

"Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka."

Di beranda rumah Tjipto,
di tahun 1936 itu,
percakapan sore,
di antara pohon-pohon Naira,
selalu menenteramkan.
"Jangan beri kami altar
dan tuhan imperial,"
seseorang menirukan doa.

"Tapi kita dipenjarakan, bukan?"

Ya, tapi ini penjara yang pertama,
yang memisahkannya dari ingin
dan kematian.

"Ah, lebih baik kita diam,"
kata tuan rumah.
"Abad ke-20 adalah abad
yang memalukan."

Di sana, di beranda rumah Tjipto,
menjelang malam, di tahun 1936,
mereka selalu tertawa
mengulang kalimat itu.

Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,
Rumah Tahanan Militer, 1965),
ia tak pernah merasa begitu sendiri.

Hanya ada suara burung tiung
(atau seperti suara burung tiung)
ketika siang diam.

Tapi ia takut duduk.

Ia tak ingin  menghadap ke laut,
(andaikan ada laut),
seperti patung Jan Pieterzoon Coen,
seperti pengintai di menara benteng
yang menunggu kapal-kapal
di dekat langit
sebelum perang.

Ia tak ingin duduk.

"Siapa yang menatap jurang dalam,
jurang dalam akan menatapnya."

Mungkinkah ia sendiri
yang mengucapkannya di sel itu?


2014