Friday, May 27, 2016

Mishima


1

Seperti pengungsi dari gempa, Mishima
(aku bayangkan ia Mishima) pulang.
Lanskap rusak. Tapi ia ingin bergerak, kemudian tua.
Dan terbaring.

Dan  Mishima   terbaring, menatap langit-langit,
dari tikar yang disepuh musim.

Rambutku hilang, ia berkata, 
rambutku hilang.  Tapi lihat,
aku tahu di mana aku tak akan ada lagi.

Setumpuk arang panas
menghangatkan kakinya.




2

Di detik-detik berikutnya,
ruang itu mendengarkan jam:

Siul cerek melengking
dari didih air, sebelum
dusun tertidur.

Malam menyeduh teh,
sup telah masak.

Seolah-olah semua
membiarkan kata-kata berhenti
pada shoji.



3

Di luar ashram,  tiga hantu dari kuil
memukulkan beliung
pada paras waktu dan berkata:
Kau tahu, aku tahu, kita tahu.



4

Aku bayangkan Mishima berkata:
mimpi membujukku
dengan  luka Santo Sebastian

Tujuh anak panah
yang menembus tubuhnya yang berahi

meregang di pusarku.




5

30 tahun yang lalu aku pernah bersamamu ke Yudanaka
dengan kereta api pelan.  Oktober meminta kita
menghirup warna daun. Tapi kau menyanyi kecil
dan  membuka kutang, dan dua jam kemudian
di tepi bak air panas,  kutemukan namamu
yang terhapus.

Minum, kau berbisik.
Minum.

Tattoo di lengan itu mengeriput seperti
daun terakhir.  Tubuhmu sebuah kemarau:
anasir dan  peristiwa
yang tak menyentuh lagi.




6

Seharusnya aku Narsisus
dengan tukak lambung

yang  tak bercermin
ke wajah air. 

Seharusnya aku Narsisus dengan amis ikan
yang meludah  dan bersetubuh
di  kolam itu
dengan  arwah
dan humus hutan.

Mungkin aku  tak kenal sakit hati
yang membalas.


Aku membaca tiap frase mitologi,
aku selalu ingin melengkapi: pedang
dengan matahari.
kembang dengan keringat, sungai
dengan sperma 
yang tipis tertahan.

Apa yang tak bisa kita cintai sebenarnya
dari carut-marut bumi?

Seharusnya aku Narsisus, yang  memandang
gerak-gerik mendung:
burung-burung Yunani yang sewarna
membentuk huruf. Tak punya arti

Dan tak pernah menengok ke kolam.



7

Lewat pintu geser, Mishima seakan melihat mereka,
dalam asap rokok: Kelasi kapal-kapal  yang kalah
yang disembunyikan
di kotak waktu. 

Rumah makan unagi ini tak mau mengungkapnya.
Di lantai dua, tamu-tamu beku. Botol-botol beku.
Di dinding ada kanvas: hutan Guadalkanal,
pasir yang tak tersentuh perang,
pematang yang naik turun,
pengantin yang diusung ke tengah semak
dengan nyanyian hampir mabuk.

Tapi selalu ada orang yang seperti aku, kata Mishima,
yang tak ingin cerita alternatif.

Hari hanya satu narasi.
Tuhan menamainya kematian.

Dan  Mishima   terbaring, menatap langit-langit,
dari tikar yang disepuh musim.




2016