Thursday, February 15, 2007
Almanak
Satu jam lagi menyerah dan satu jam lagi menyerah
bom jatuh di tengah malamku
- pucat bumi semesta
darah tetes di tengah sorga -
Tapi masih juga selalu
kubacakan padamu
sajak perlahan-lahan,
cerita-cerita tenang, pada
jam senyap senggang, sementara
pada lembut udara
lampu-lampu merah termangu,
dan di benteng-benteng kejauhan
di kaki langit yang ngilu
merangkak Asia
yang hampir mati
dari arah Nagasaki.
Malam pun berkepul
dari bumi yang tak hendak tidur:
Apakah harap masih utuh?
Atau rasa cemas yang ke seluruh?
Kita tak tahu
(Mungkin di sana ada
bisik-bisik Asoka
dan bising Zulkarnain
dari jurang Makedonia)
Mungkin hanya Tuhan melangkah
lewat arus resah
hidup tergerai
yang mengepakkan sayapnya
sekali lagi, sekali lagi
1962
Tuesday, February 13, 2007
Riwayat

girl in chair
- Pablo Picasso -
Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan
Pada saat itu seorang tua pun jatuh di makamnya
Pada saat itu seorang anak pun bangkit dari buaiannya
Ia tampil kepadaku, biacara padaku:
saudaraku hembuskan sajak ke paru-paruku
Lalu kuhembuskan sajak ke rabunya
Tapi ia tumbuh juga jadi tua
Meskipun di matanya
ada puisi
yang seakan-akan menjanjikan
hidup abadi
(Maka aneh. Ketika ia mati musim belum lagi mati
ketika ia ditanamkan, bunga tumbuh di pusat makam
Dan ketika ia dilupakan matahari
berkata pelan: sayang, memang sayang)
1962
Catatan-Catatan Jakarta
I
Jendela-jendela pun sunyi
Menangkap kelam kali
Yang kering, yang terasing
Jauh dalam kerak musim
Dan bersitahanlah kota: ruang-ruang tua
Bertalu-talu beribu gema
Langkahan hidup yang gigih
Di bumi letih
II
Sisa sedihkah riuh-rendah
Dari sesuatu yang hilang dilupa
Antara gairah, antara gelisah
Bila tahun-tahun pun tiba?
Sisa sedihkan ini senyap
Dalam getar separuh senja
Antara deru mobil, huruf berlampu kerjap
Sungai yang tak berkata-kata?
III
Pada puncak-puncak licin ini
kupahatkan letihku di deru pagi
Karena telah terhisap keringat oleh malam
Mengucur ke daratan amat tajam
Pada detik-detik panjang ini
Kubangunkan rumah, kubangunkan bumi
Antara air mata, sajak-sajak yang tertinggal
Antara martil berdegar-degar
Tapi tidakkah pada akhirnya akan ditinggalkan
Seorang jauh di senja masa depan
Yang makin menganga, semakin pancang ditegakkan
Ketika lampu-lampu berpendaran, embun jatuh berkepanjangan
IV
Sidang malam hari ini
Menggegar ruang beribu kursi
Tentang seratus tahun-tahunmu, saudaraku
Riwayat yang datang dalam cetak-biru
Pidato malam hari ini
Terkelupas dari lembar-lembar lesi
Sebuah legenda - sebuah legenda, saudaraku
Dalam kuap panjang yang satu
Berita apakah akhirnya
Yang pecah di puncak kota
Engkau tahu
Dan sajak pun tahu
Derita apakah jadinya
Yang terpupus serasa dusta
Aku tahu
Den engkau pun tahu
Berpijarlah yang hijau: daun serta rumputan taman
Berderailah. Dan lampu-lampu pun padam berturutan
Bersama satu kereta - mentari membola - ayam pagi
Dan semua yang kepada kita aka kembali
Maka bangkitlah: kehangatan pasar pun lepas lelap
Dan tersenyum. Kini rumah-rumah telah rekahkan pintu-halaman
Untuk menghadang, meski tak mengerti: semacam aspal jalan
Semacam kotak-surat - atau rel-rel suram kemerlap
1961
Surat-Surat Tentang Lapar
untuk Atiek,
di Gunung Kidul
Tandus kapur mengepung
Cinta pedih rembulan gunung
Kesetiaan penghuni malam-malam hari
Mendesak lapar dan erang sunyi
Dan membisu mati ini
Di punggung kapur tanah putih
Menangkis seribu musim paceklik
Menanti kembali setiap detik
untuk Mardi,
di kota kelahiran
Di seluruh tanah, di seluruh kemarau
Bayangan tangan rebah menjangkau
Menghempas tinju ke sepi segala
Antara malam dan dengkur lupa
Dan tentang esok
Di pagi putih kemuning rontok
Kembali lagi senyum abadi
senyum yang lapar, yang bersendiri
untuk Don,
dan untuk Basuki
Lapar berada di senja begini: yang berdalih
Dari segala jemari letih
Yang terangguk dalam gemetar malam buta
Yang tersisih jauh dari kata
1961