Wednesday, December 21, 2011

DI PROSENIUM

They live their lives
in sad cafes and music halls


- Janis Ian.



Di kursinya yang hitam,
ia masih belum juga bernyanyi.

Di prosenium yang setengah terang itu
ia memandang ke utara. Matanya mabuk.
Tutup piano itu mengkilap seperti dahinya
yang berkeringat. Mulutnya mabuk.
‘Daud…’, tiba-tiba nama itu disebutnya.
Suara itu keras, tapi tak lurus.

Di gedung itu penonton senantiasa murah hati.
Dalam gelap, teater menunggu: seorang diva,
sebuah cerita panjang yang mungkin akan dinyanyikan,
koridor yang berwarna seperti harapan,
ruang konser yang mulai tua,
bunyi langkah yang takut tapi terbujuk,
dan sebuah suara viola yang sedang dicoba.

Beberapa menit berlalu.
Tuts itu pun mulai bergetar.

Perempuan di prosenium itu menyebut lagi, ‘Daud..’,
meskipun ia tahu yang dipanggilnya tak di sana.
‘Daud….’ -- lalu terdengar baris pertama,
‘Bintang datang bintang pergi,
seperti sisa singkat matahari’.


Dan piano itu memberinya melodi.

Siapa Daud, sebenarnya?

Seperti kau dan aku, barangkali,
sebuah komposisi,sebuah lagu yang seperti arus
mengikis tebing
dan mendapatkan namanya kemudian,
setelah selesai digumamkan.


Di dalamnya Daud berjalan dari kota ke kota,
bersama band yang lusuh,
di lorong music hall dan bar yang sedih,
dan berangkat lagi, tiap kali.
Sebelum tepuk tangan.

‘Kau tak akan sampai di prosenium
Kau tak akan sampai di prosenium
Mawar kering sebelum harum’.

Barangkali ia tahu,di sebuah bangku stasiun
Daud duduk malam itu
dengan gitar yang terbungkus.

Dan kereta lewat.


2011

DI UJUNG BAHASA

Kita menunggu malam
dengan Hp yang diam.

Mungkin akan jatuh bunyi ‘tidak’
bersama dering yang dimatikan.

Dan cinta kita
bersembunyi

di ujung bahasa
yang tak dilanjutkan

di mana Entah mendaku waktu
dan ruang

dan kita akan berkata-kata,
dan akan berpura-pura

mengertinya.



2011

LACRIMOSA

*

Akhirnya mereka temukan kotak hitam itu
70 meter di timur kawah.


Akhirnya aku dengar suaramu.



*

Seseorang memanggilmu seperti mendesak
dan kau menyahut, dari dalam kokpit,
agak gemetar, ‘Abu itu
membentuk langit.’



*

Dan kau coba untuk tak berdoa.



*

Hanya ada sebuah rekuiem
dari CD. Belum selesai:
‘Lacrimosa dies illa…’

Beri hari
airmata

yang akan hilang,
seperti luka.

Lalu dentuman.
Lalu guncangan
Logam-logam retak.

Tak ada yang berteriak.



*

Perjalanan, Wresti, selalu melintasi
detik yang putus
di tiap pelabuhan.

Tapi tak seorang pun
yang percaya.

Mungkin cerita
memang tak bisa berhenti.


*

Lima pekan setelah itu
regu SAR menemukanmu
di antara sebelas jasad
yang mengering hitam

seperti coretan tinta cina
pada paranada.

Aku bayangkan sebuah orkes
memainkannya:
not-not yang tersandar
di lahar dingin,

di sebuah ruang
di mana Ajal berdiri,

dan kau berdiri,
dan kur menyeru
ke arah awan tua
yang melintas
yang tak berisi
apa-apa.

‘Lacrimosa dies illa…’


*


Biarkan hari
memilih abu
dan airmata
yang akan tak ada.



2011

HIKAYAT SRI RAMA

KUMBAKARNA

Ayah itu bercerita tentang seorang penidur yang sakti,
seorang tambun yang bertapa di bukit,
yang mendengkur dan ingin bermimpi
tentang negeri yang tak punya raja.

‘Ia bernama Kumbakarna’.

Anaknya hanya memahat kayu, mungkin
separuh mendengarkan. Ia tahu cerita itu akan berakhir
dengan kematian; ia ingin pahat itu tak melukai
tubuh ikan yang dibentuknya, karena sedih akan jadi
panjang dan umur (ia merasa begitu) hanya pendek.

‘”Aku menunggumu, Alengka, di jalan yang tak mudah”,
kata Kumbakarna sebelum berangkat.

‘Meninggalkan tujuh pengawal yang menemaninya,
si tambun pun menyeberangi
bentangan hutan. Dan sejak pagi itu,
di Alengka semua berhenti. Kata-kata,
selalu dimaksudkan, selalu didesakkan,
berubah seperti defile prajurit yang berputar.
Tak ada lagi garis depan.


‘Esoknya, dari tepi selat, orang melihat 1000 makhluk aneh
melintasi laut. Hanya samar. Kabut membentuk
berpuluh-puluh cerita. Seorang pengintai mengatakan
ada musuh datang dari Kiskenda, tapi tak ada yang tahu
benarkah ada negeri Kiskenda.

‘Kumbakarna berbisik, ”tidak”,
dan ia pergi ke lekuk bukit.


Di luar cerita, anak itu meraut sirip
dan membayangkan arus yang biru gelap,
di mana tak ada yang tak bergerak,
juga kematian.

Ayahnya pun menutup ceritanya, lelah:
‘Di jalan yang tak mudah,
Kumbakarna bermimpi
tentang sebuah negeri yang tak punya raja.’


TRIJATHA

Aku akan mencintaimu, monyet tua,
karena engkau adalah lelaki
yang memalsukan diri.

Kudengar kesedihanmu. Tapi juga
aku tahu apa yang kau percayai.
Telah kau katakan kepada senja yang hujan:
‘Aku Kapi Jembawan yang tak akan berakhir;
aku mengubah,
aku seperti curah air;
aku mungkin trembesi
yang tak ditakdirkan’.

Saat itu langit pasti mendengar,
seperti bumi mendengar
derum guruh.

Jangan takut. Meskipun kau tahu: pada tiap datang gelap
dan nyanyian katak dari semak yang tergenang,
aku memang inginkan dengus seorang pangeran
yang telah bersumpah
akan menolak tubuhku.
Leksmana, pangeran Ayudhya yang menang,
ingin menghilang kembali ke dalam hutan.
Ia adalah ajal, bisiknya kepadaku,
yang mengikatkan diri.

Kau tahu kita semua bisa menangis

Maka sentuhkan rambutmu yang menakutkan, monyet tua,
ke bibirku. Apak, kusut, kering. Tanpa berahi, ranjang
tetap akan menutupkan selimutnya
sebelum lampu padam.
Relief pada tembok
tetap tak akan selesai bercerita
tentang seorang dewa
yang melepaskan zakarnya.

Kita semua
bisa menangis.


SUGRIWA

‘Aku telah berkhianat’, kata kera merah itu.
‘Apa yang terjadi?’ tanya sang pertapa.
‘Aku tak mengerti: telah datang dua orang asing dari Ayudya
yang membunuh saudara kandungku, dan aku memeluk mereka
sebelum aku memeluk tubuh saudaraku, dan mereka berkata
dengan suara yang tenteram, “ada keadilan”.

‘Aku takut’, sambung kera merah itu pula.
‘Kita tak perlu takut kepada yang ada dan bisa jelas’.
Empat malam sebelumnya, dari sebelah tenggara hutan
pertapa itu mendengar jerit: ‘Namaku Subali!’.
Ia pun berjalan mendekat. Bulan hanya sebelah.
Dalam terang yang terbatas, ditemukannya genangan darah
dan sehelai daun tal yang tergeletak. Seekor burung pungguk
memandangi dari gelap -- merasa lebih mengerti tentang malam
dan jejak yang terhapus.

Keadilan dan kematian begitu sederhana di semak kosong ini.
Juga sesal dan suara sedih. ‘Aku memang ingin
ia tak ada,’ kata kera merah itu pula,
‘tapi aku tak ingin membunuh Subali.’

‘Kau tak membunuhnya, Sugriwa. Ada perang
dan keinginan yang selalu bukan milik kita’.


SITA

Letakkan pelan kesunyianmu, Rahwana, di sisi
kesunyianku. Hanya ada pohon nagasari
yang tumbuh hitam
di sudut taman.
Kota separuh hangus.
Dan di tahta yang kosong
di dalam, jauh di dalam, ingatan
telah jadi bekas.


EPILOG

Anak itu selesai meraut hiu dari kayu
dan melontarkannya ke danau.

Ia tak mengatakan apa-apa,
tapi ayahnya tahu, di pahat itu
hikayat memilih arahnya sendiri.

‘Dongeng adalah metamorfosa, ayah,
karena kiasan berhenti
dan Sita menolak
perjalanan ke Ayudya lagi.’

‘Apa yang terjadi dengan Sita?’ tanya sang ayah.

‘Ia terjun ke telaga
mencari ikan terbang
yang menentang kematian.’

‘Tapi di sebuah hutan, jauh dari istana Rama yang pulih,
dua pangeran piatu yang menyingkirkan diri
membentuk busur bambu dan urat daging:
“Kami Kusya dan Lawa,
pembangkang yang berkabung,
yang tak ingin
siapapun mati.”

‘Tapi dalam mimpi mereka
mereka bunuh ayah mereka.

‘Dengan rahang mengetam mereka berbisik,
“Jangan Paduka sentuh ibu kami: permaisuri
itu telah lama bertopang di punggung hiu,
mencari arah ikan terbang”

Dan dalam cerita saya ini, ayah itu pun
menatap cemas
mata anaknya.
‘Kita tak pernah mengerti Sri Rama’,
katanya.


2011

Tuesday, December 20, 2011

dinihari

"Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya."
Goenawan Mohamad - In the Wee Small Hours

Thursday, December 01, 2011

gambar #2


copyright: dobbyf

Tuesday, October 25, 2011

puisi bisa...

Bahasa puitik adalah bahasa pembebasan. Esai kan sangat ketat, ada disipilin. Tidak semua pikiran bisa tertangkap. Puisi bisa menangkap yang diam, yang tersembunyi. Yang gelap.

gambar #1

copyright: dobbyf

Friday, July 29, 2011

70

Selamat Ulang Tahun Goenawan Mohamad

Saturday, July 16, 2011

Hari Terakhir seorang Penyair, Suatu Siang

Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu
Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu
Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku

Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tersua
Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca
Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia
Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia


1964

Pertemuan

Meniti tasbih
malam pelan-pelan
Dan burung kedasih
menggaris gelap di kejauhan
kemudian adalah pesona:
wajah-Nya tersandar ke kaca jendela
demandang kita, memandang kita lama-lama.

Demikianlah sunyi telah diturunkan
dan demikianlah Nabi telah dititahkan
dan demikian pula manusia
dikirim ke bumi yang terbentang,
dari sorga
yang telah ditutupkan. Dan kini tinggallah cinta
memancar-mancar dari sunyi kaca jendela.

1964

Tuesday, July 12, 2011

Monday, July 11, 2011

Thursday, July 07, 2011

Through the Windows of the Bar

Call me melancholy, he said.
A trumpet aimed at a forty watt bulb.
A door, dry as leaves, slammed by the night.

Call me melancholy, he said.
Soul in the gloom of the room, singed by fireflies
of cigarettes chasing each other’s tail.

Call me melancholy, he said.

His faces plastered on a poster, his smile
the momentary tremble of wall paper
and his steps, his life, a heart
refrigerated.

Call me.
But I do not know you, I said to him.

He smiled, black man. And squirmed, a black man.
Look at my lungs, he said. An object from
outer space
sticky with pus.

Call me melancholy, he said again, and sang:
I hate to see…

1991

Translated by Toenggoel P. Siagian

Morning

Drizzle like needles
falling. On zinc
and dawn, a thousand knocked down
from a distant time.

A bat shrieking,
in pain; struck
in its eye. I have seen its blood.

And the shadows flee
though there is nowhere
to hide. Nowhere
to hide

1976

Translated by Laksmi Pamuntjak

I May Have Erased Your Name

I may have erased your name
With the sole of my shoes
As you have erased mine
From a war no more in the news

Maybe you have erased not my name
Maybe I have erased not your name
Maybe we were not even here before
Only the southern woods and a downpour

1973

Translated by the author

Monday, July 04, 2011

Poemster 6

Monday, June 13, 2011

Poemster 5


Poemster 4

Thursday, June 09, 2011

Nina Bobok

Tidurlah, bocah, dia atas bumi yang tak tidur
Tidurlah di atas rumput, di atas pasir, di atas ranjang
Tidurlah bersama rama-rama, ombak laut atau lampu temaram
yang terus menyanyi, terus menyanyi perlahan-lahan

Tidurlah bocah, sampai ketukan di tengah malam
sampai engkau bangkit dan seluruh pulau mendengarkan:
Bahwa bom yang pecah membagi bumi
tak bisa mencegah engkau menyanyi, “Di timur matahari.”


1964

Kepadamu, Negro

Kepadamu, Negro, bumi bergadang sepanjang malam
Dan cakrawala menunggu
Suara pesanmu kepadaku.
Kepadamu, Negro, abad berkisah seribu-satu
Tentang revolusi hitam
Revolusi putih
Revolusi merah
Yang menyimbah sejarah, membakar marak cintaku

Sajak yang tertahan dalam sakitmu
Tak lagi akan menunggu
Sajak yang hitam
Kasih yang hitam
Tuhan yang hitam
Yang berkelap berkerlapan
Di atas gurun saljumu
Sajak yang membisikkan kata-kataNya: Lihatlah, Manusia!


1963

Monday, June 06, 2011

Di Sebuah Juni

Di sebuah Juni yang seperti asma
kutemukan kau tanpa nama

Sore sepucat pasien
cahaya
hampir absen

Karbol
tercium di udara dan seperti pada satu titik 0
angin itu juga tak kuasa

Kota ini seakan sebuah kotak kaca, rasanya,
di mana orang setengah bicara, setengah membaca

menaruh tubuh sepanjang lorong
dan bayang juga, seperti kau bilang,
bertebar kosong

Tentu saja kau coba
selubungi sepi

Dan dengan sebuah topi
kauinginkan sebagian matahari
di teras restoran ini

menahan vakum
di sebuah ruang yang tak terangkum

Tentu saja...

Tapi kita, mereka berkata, akhirnya adalah kata
pada spanduk:
cat tebal di pojok yang sibuk

di Juni yang seperti asma
yang ditemukan tanpa nama

Atau ada yang tak tereja, barangkali
sepatah maklumat,
pada kaki adpertensi

Kemudian aku cuma liwat
dan hari lari
dan kau tak ada lagi

1996

Monday, May 23, 2011

15 TAHUN LAGI

15 tahun lagi ia tak akan di kamar ini.
Seperti warna biru pada gordin
yang dihisap
matahari

Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas nikotin
pada amplop terakhir

jam yang bersembunyi
dari Tuhan
yang tak membuat
ia yakin.

Salahkah ia,
yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekedar suara
di atap kamar itu,

kalimat pelan-pelan
yang akhirnya
hanya hujan?
Mungkin hujan?

Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi murung

sebuah lagu Brazil,
pada cello
yang setengah serak
yang terapung-apung, sentimentil,

di luar, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Sem voce, sem voce.

Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi “aku malu”, katanya, pesimistis
pada telegram
yang mungkin mengetuk

dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: 15 tahun lagi
akan ada seseorang
di kamar ini.

2008-9

TAMAN

Pada gerbang batu dan taman tak berpagar
kau menunggu, 5 menit, 7 menit, tinggal, gemetar
mengisi tekateki silang, sampai seseorang datang
dari tikungan yang dingin,

melambai, 'Hai, hai, kau tak akan lama,
tak akan lama di sini!"
Kau pun merunduk. Hanya kau simak kalimat
yang hilang bentuk:'Kenapa, Tuan, lupa?"

Saat itu kaudapatkan kata baru
sepatah. Bukan, bukan 'amnesia'
Tapi kau ingin pergi juga, terburu, takut,
karena tak ada sinonim

untuk selamat tinggal, rupanya,
pada suara burung terbang
dari rumput.
Hanya ada sesuatu yang seperti kotak putih

yang tak akan terisi, seperti ruang
di antara angka arloji: 5 menit, 7 menit...
ketika huruf tumbuh panjang
tajam, seperti sembilu aur hutan.


2004

Thursday, May 19, 2011

poemster - 3

poemster 2

Wednesday, May 18, 2011

poemster