Monday, November 15, 2010

Aung San Suu Kyi

Seseorang akan bebas dan akan selalu
sehijau kemarau

Seseorang akan bebas dan sehitam asam
musim hujan

Seseorang akan bebas dan akan lari
atau letih

Dan langit akan sedikit dan bintang
beralih

Dan antara tiang tujuh bendera dan pucuk pucat
pagoda

Seseorang akan bebas dan sorga akan
tak ada

Tapi barangkali seseorang akan bebas dan memandangi
tandan yang terjulai

Tandan di pohon saputangan, tandan di tebing jalan
ke Mandalay


1996-1997

Wednesday, September 29, 2010

Permintaan Seorang yang Tersekap di Nanking, Selama Lima Tahun Itu

buat Agam Wispi


Tuhanku, komandanku, Engkau, siapapun Engkau, pergilah
dari Nanking

di luar kamar
malam hanya menghafal
lolong langit anjing –

pergilah dari kamp, dari kamp,
pergilah dari harap yang tersisa
seperti sekam,

berangkatlah dari kawat duri yang sabar,
dari Revolusi,
dari percobaan sebesar ini

Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah
dari Nanking,
tinggalkan setasiun
ke salju dan danau, cantumkan cahaya Baikal
di malam yang sebentar,
dan sematkan sekilas bulan yang runcing
seperti leontin

Sampai pada lanskap ini tak ada lagi yang baka,
tak ada yang beku
sebeku titahMu, mungkin
sebeku namaMu.

Tuhanku, siapapun Engkau, pergilah
dari Nanking.


1996-1997

Tuesday, July 06, 2010

Untuk Frida Kahlo

Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: "Hidup yang diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada harap. "Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah, ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh...

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam dalam dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue, dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan yang mereka ingkari
dan kedatangan Trotsky.
Mereka berkata, "Tidak, Frida, kau tak apa-apa."
Tapi di alis itu...


di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung

di ragamu tiang patah
di kamar narsoke, ampul tertebar:
sisa sakit dan sejarah

tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan

uluhati yang tercerabut
tapi terbang, menjemput Maut
adalah seorang perempuan

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan kertas-kertas - manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua berkata, "Tidak, Frida, kau, kita,
juga Diego Riviera, telah berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia sudah tak seperti dulu."

Bukan apa-apa...

tapi di matamu kaulihat
piramid-piramid sakit
mencari air kaktus
pada pucat langit

lalu kaulukiskan airmatamu,
seperti mutiara dan
putih cuka
di tembikar kulitmu

Di atasnya para santo
dan wajah Diego: praba dan cahaya
yang membakar kekal
mimpi Meksiko

Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup, seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan - yang telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua - tak ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan: elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih yang tetap bersih dari Noguchi ( di dada seorang perempuan, di Manhatan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut cemerlang, bunuh diri)

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya - sebelum orang mengangkatnya ke api kremasi - ada seorang yang datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, "Frida, kau adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di percakapan dan ranum pisang dalam sajian
makan malam. Kau tergetar kepada apa yang sebentar."


Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak tahu telah berubah lazuardi.

"Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang sementara?" Benar, begitulah ia pernah bertanya.


1993-1994


Saturday, May 22, 2010

Na Sonang Do Hita Na Dua

Derum daun-daun Ithaca
seperti lagu
di radio masa kecilnya
Na sonang do hita na dua

Tapi tak ada lagi
orang yang berdua
(itulah komposisi dalam nasibnya)

Yang ada hanya seseorang
yang membetulkan rambutnya
yang menipis, di pelipis
dan melihat ke akhir agenda

“Cinta kami adalah
dua nomor telepon yang hilang
dalam perpindahan
yang panjang “

Derum daun-daun Ithaca
brisik kersen tua
angin musim ketiga
mengontak ketakacuhannya

Tapi kamar telah menyetop
surat-surat
Juga Tuhan, kematian
dan rasa sakit di kejauhan

dengan siapa kita akhirnya
akan berada, akan berdua
seperti lagu
di radio masa kecilnya

1991

Saturday, March 27, 2010

Tahun pun Turun Membuka Sayapnya

Tahun pun turun membuka sayapnya
ke luas-jauh benua-benua
Laut membias: warna biru langit tua
Zaman menderas: manusia tetap setia


Kita di sini ngungun berdiri, membangun abad ini:
“Adakah sorga akan kemari?”
Lampu-lampu padam dan malam buta
Tapi manusia setia

1963

Lagu Hujan

Di luar hujan memahat kaca jendela
Di luar hujan membubuhkan warna senja
Di luar hujan membisikkan talking purba
bagi seorang Pemimpin, di hari kemarin
Disalibkan dunia


1963

Gerbong-Gerbong Senja

Rimba yang menghilang
dalam hembus senja yang panjang
dan kilometer-kilometer yang lenyap
(landasan perjalana tak kunjung genap)
memanggil-manggil malam yang sunyi


Dan demikianlah gerbong-gerbong senja
tiba dalam kota
berangkat dari kota
di batas Yogya, di Ibukota
dan di mana-mana
Sebab kasih adalah
rumah kami: sorga yang salih
yang tak ada berantau tersisih
yang tak ada berbumi yang sedih


1963

Jangan Lagi Engkau Berdiri

Jangan lagi engkau berdiri
di jendela-jendela sunyi dan kelam kali
Jangan lagi engkau tak mengerto
sajak apakah yang tinggal sendiri

Sajak yang ada mendengar bumi, bumi yang letih
Sajak yang ada mendengar hidup, hidup yang menagih
Sajak yang ada melihat abad, abad yang bersih
Bagaikan bulan yang timbul: memutih putih


1963

Thursday, March 25, 2010

MEZBAH

Mezbah ini sebuah kota
yang tak menyebutkan namanya
seperti kamar mayat
sementara

Tak ada tempat yang lapang
hanya seseorang bilang,
"kita berkabung, maka kita ada."

Malam pun menemui kurban
di hamparan. cahaya warna kusta
dan plaza jadi dingin, ketika ajal
memandang

ke paras pertama.ada angin dan api lampu.
Wajah itupun hanya putih, seakan puru,
dan mungkin maut
tak akan tahu mengapa ruang

dan dinding bergeming, mengapa
lorong ini tak melepas dosa
mengapa yang padam
tak ditinggalkan

2003

Wednesday, March 24, 2010

CIKINI

Syahdan, di kedai kembang itu dibelinya ros putih,
dan dituliskannya di secarik kartun: 'Aku
mencintaimu, kekal, seperti kucintai Audrey Hepburn'

Tapi (di sini ia berhenti sebentar, batuk,
menutupkan krah jaket, dan berkata pada diri
sendiri), kapan tahun tak akan memburuk?

Hidup mungkin sebuah bioskop, tapi tidak di jalan
ini. Cikini tetap terjepit juga di dekat pagi,
ketika gelap tak lagi penuh dari langit,

dan dari stasiun kuning, terang lampu tampak
tirus seperti lewat cadar, dan ambulans menggeletar,
mengirimkan isyarat.

Meski tak menyongsong apa-apa... Ia juga tak akan
berangkat. Ia dan Maut ingin berdua, di utara.


2004

ADEGAN

Kuingat bedeng beratap hitam
Kuingat bedeng beratap hitam di sebuah film Jerman:
Seorang perempuan tertinggal dalam gerbong

dengan lima patah kata dan lima luka bibir. Pada
close-up tampak ada darah seperti koma yang tertera

di alinea terakhir sebelum burung bangun sebelum
lambat laun jam menaburkan gentar

seperti tempias hujan dari pinus di halaman. Di
saat itu, mungkin kau tahu, doa fade out, jadi salju.



2004

Doa Persembunyian (di Sebuah Greja Rumania)

untuk Ivan dan Evelina

Tuhan yang meresap di ruang kayu
di greja dusun,
di lembah yang kosong itu,
kusisipkan namamu.

Jangan jadikan kerajaanmu.

Bebaskan aku dari sempit yang gelap
seperti surga
yang gemetar ini.

Beri aku
tuah, dari isim yang asing
seperti sepatah kata Ibrani
dari lidah tuan padri.

Beri aku
merah anggur yang tumpah,
sebelum mereka datang

sebelum mereka
melintasi makam peladang
dan menangkapmu
dari jemaah yang tidur
di Getsemani ini.

O Tuhan yang lenyap
dalam ruang kayu
yang hitam, sehitam tembakau
kusembunyikan namamu

kusisihkan laparku
takutku,
pedangku.

Di Jazirah Burung Hantu

Di Jazirah Burung Hantu selalu datang
ombak yang saling memperebutkan batas
yang kita
tak pernah tahu.

Merambat, melepas
telapak teluk, baris cadas,
dalam suara sibuk
pasang yang menorehkan bekas.

Tapi kali ini balsam hutan memilih warna jintan
di ceruk selatan pelabuhan.
Pesta tengah Mei
setelah unggas tak pergi lagi.

Sementara kau akan dengar juga teriak mercu
menabrak kabut, menyibak gelap,
menggapai
kapal-kapal lunglai,

layar yang tiarap
di sela-sela grimis keras, grimis kerap,
kepada siapa akanan
berhenti membiru, dalam sore yang jadi sembab.

Paginya teluk akan timpas
dan akan pulang, semua pulang,
pemburu-pemburu udangkarang
ke pantai yang hanya bekas.

Dan kau bertanya adakah lusa akan kaulihat kembali
perbani, bulan yang jalan seperti gadis peniti tali
dalam sebuah sirkus senja
antara pucuk karang dan pohon elma.

Tapi di Jazirah Burung Hantu, sepi
adalah suara takzim
gumam darun-daun hikori: suara mualim
pada peta navigasi.

Dan kau akan datang ke sana, mengikuti arahnya,
seakan ombak, seakan ombak,
biru, kelabu, selalu—
sebelum pergi.

1990