Aku akan tugur sepanjang malam
di puri tua itu, Dulcinea.
Menjaga mimpimu,
meski kau tak pernah ada.
Jalan putih, bulan putih,
fajar jauh, aku sendiri
seperti tonggak
sebelum gempa.
Kutulis sajak yang lelah,
mungkin
di pelana dingin
seperti somnabulis terakhir
yang menempuh pasir, sepanjang malam
dari tingkap itu, Dulcinea,
dengan kasut sedih
kata-kata
2007
Sunday, October 06, 2013
Ke Arah Balkon
Ke arah balkon itu Don Quixote de La Mancha bertanya,
"Ke manakah jalan ke kastil yang dulu ada dan kini tidak?"
Seorang perempuan menengok ke bawah sebentar.
Rambutnya yang lurus, hitam, membuat bayang pada
langsat pipinya. Matanya kecil, mengingatkannya pada punai
yang terbidik.
"Engkau ketakutan!"
Dan laki-laki yang merasa dirinya gagah itu pun turun dari
kudanya.
Ia berjalan mendekat. Ia melihat, sekilas, tangan Peri
Kesepian
mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam sebuah gumpalan
mega,
di mana setiap perempuan akan ditinggalkan.
"Jangan!"
Don Quixote menghunus pedangnya yang retak. Tapi semua
bergerak pelan.
2007
"Ke manakah jalan ke kastil yang dulu ada dan kini tidak?"
Seorang perempuan menengok ke bawah sebentar.
Rambutnya yang lurus, hitam, membuat bayang pada
langsat pipinya. Matanya kecil, mengingatkannya pada punai
yang terbidik.
"Engkau ketakutan!"
Dan laki-laki yang merasa dirinya gagah itu pun turun dari
kudanya.
Ia berjalan mendekat. Ia melihat, sekilas, tangan Peri
Kesepian
mengangkat tubuh rapuh itu ke dalam sebuah gumpalan
mega,
di mana setiap perempuan akan ditinggalkan.
"Jangan!"
Don Quixote menghunus pedangnya yang retak. Tapi semua
bergerak pelan.
2007
Ia Menangis
Ia menangis untuk lelaki di atas kuda kurus
yang akhirnya sampai pada teluk
di mana fantasi adalah hijau hujan
yang hilang ujung
di laut asing.
Ia menangis,
dan lelaki itu
mendengarnya.
"Aku Don Quixote de La Mancha
majenun yang mencarimu."
Tubuhnya agak tinggi, tapi rapuh dan tua sebenarnya.
Ia berdiri kaku.
Cinta tampak telah menyihirnya
jadi ksatria dengan luka
di lambung.
Tapi ia menanti perempuan itu melambai
dalam interval grimis
sebelum jalan ditutup
dan mereka mengirim polisi, tanda waktu,
kematian.
2007
yang akhirnya sampai pada teluk
di mana fantasi adalah hijau hujan
yang hilang ujung
di laut asing.
Ia menangis,
dan lelaki itu
mendengarnya.
"Aku Don Quixote de La Mancha
majenun yang mencarimu."
Tubuhnya agak tinggi, tapi rapuh dan tua sebenarnya.
Ia berdiri kaku.
Cinta tampak telah menyihirnya
jadi ksatria dengan luka
di lambung.
Tapi ia menanti perempuan itu melambai
dalam interval grimis
sebelum jalan ditutup
dan mereka mengirim polisi, tanda waktu,
kematian.
2007
Monday, July 29, 2013
Monday, July 22, 2013
Tuhan, kata...
"Tuhan, kata Bunda Teresa, bersahabat dengan diam. Kembang tumbuh tanpa kata dan bulan bergerak tanpa berisik."
— Goenawan Mohamad
Seseorang pernah...
"Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual."
— Goenawan Mohamad
Kesusastraan...
"Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin."
— Goenawan Mohamad
Kenapa...
"Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisi—seperti kenyatan tentang cinta dan mati?"
— Goenawan Mohamad
Saturday, June 01, 2013
Daun
Dengan konyol aku ceritakan
bagian penutup Setangkai Daun Surga:
Syahdan, di malam ke-7 yang dingin
(itu kuingat dari buku Cor Bruijn),
setelah derak gurun,
setelah badai bertahun-tahun
tangkai terakhir itu dianugerahkan.
Dan daun itu jadi hijau,
dan daun jadi
engkau
Tapi kau tak bertanya, bagaimana
akhir dongeng itu sebenarnya.
Kau hanya dengan sabar
mendengarkan
suaraku yang setengah hilang
di terik sebuah siang
yang setengah bahagia
2012
Monday, January 14, 2013
Buat H.J. dan P.G.
Seperti sebuah makam yang tenang:
dua leli paskah
disematkan
pada mawar hitam.
Seperti kelebat jam yang datang:
kupu-kupu putih
melenyapkan putih
ke loteng lengang.
Seperti sebuah bel yang riang,
kabar itu datang ke ruang
telah kuketok kawat,
“Bapak, saya agak tiba terlambat.”
Maka aku berbisik hati-hati
kepada malaikat yang tiba pagi,
“Hari ini aku
belum ingin mati.”
“Sebab anakku
akan terbang kemari
dari rumahnya yang jauh
di sebuah negeri yang teduh.”
Lalu kutunjukkan potretmu: 1985
ketika kau senyum
pada stang sepeda
di depan rumpun asalea.
Dan malaikat itu tertawa.
Adakah yang lebih sakral, anakku,
pada potret-potret lama
kecuali tempat yang kita kenal
saat-saat yang tak pernah baka?
1990
dua leli paskah
disematkan
pada mawar hitam.
Seperti kelebat jam yang datang:
kupu-kupu putih
melenyapkan putih
ke loteng lengang.
Seperti sebuah bel yang riang,
kabar itu datang ke ruang
telah kuketok kawat,
“Bapak, saya agak tiba terlambat.”
Maka aku berbisik hati-hati
kepada malaikat yang tiba pagi,
“Hari ini aku
belum ingin mati.”
“Sebab anakku
akan terbang kemari
dari rumahnya yang jauh
di sebuah negeri yang teduh.”
Lalu kutunjukkan potretmu: 1985
ketika kau senyum
pada stang sepeda
di depan rumpun asalea.
Dan malaikat itu tertawa.
Adakah yang lebih sakral, anakku,
pada potret-potret lama
kecuali tempat yang kita kenal
saat-saat yang tak pernah baka?
1990
Subscribe to:
Posts (Atom)