Tuesday, January 13, 2009

Berjaga padamukah Lampu-lampu Ini, Cintaku

Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku

Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat


1963

Surat Cinta

Girl Braiding Her Hair (1885) - oil on canvas
Pierre-Auguste Renoir



Bukankah surat cinta ini ditulis

ditulis ke arah siapa saja

Seperti hujan yang jatuh rimis

menyentuh arah siapa saja


Bukankah surat cinta ini berkisah

berkisah melintas lembar bumi yang fana

Seperti misalnya gurun yang lelah

dilepas embun dan cahaya


1963

Kepada Kota


Apabila engkaulah cinta, lepaskanlah, kota

dari guhamu beribu gema

Hindarkan saat-saat yang senyap: udara mengertap

deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap


Apabila engkaulah setia, tenangkanlah, kota

hatimu yang mendengar semesta dunia

Biarkan kini terjaga

Biarkan bumi semakin bergesa



1963

Kabut


Siapakah yang tegak di kabut ini

Atau Tuhan, atau kelam:

Bisik-bisik lembut yang sesekali

Mengusap wajahnya tertahan-tahan


Kepada siapakah kabut ini

Telah turun perlahan-lahan:

Kepada pak tua, atau kami

Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan.


1963

Meditasi

dalam tiga waktu

Apa lagikah yang mesti diucapkan
dalam gaung waktu bersahutan?
Di empat penjuru
malaikat pun berlagu, lewat kabut
dan terasa
hari berbisik


Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”


Maka terbacalah.
Tapi terbaca juga sepi ini kembali,
menggetar, pada senyum penghabisan
dan terjatuh dalam sajak,
sajak yang melambaikan tangan, terbuka
dan bicara dengan senja di atas cakrawala:
ada sesuatu yang terpandang bening
dalam diriku, antara dinding,
di mana terbubuh nama-Mu,
yang menjanjikan damai itu.


Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
mengisinya: tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan
segala ini? Tidakkah semacam duka
untuk memburu setiap kata, setiap dusta
tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah
yang penuh penjuru
seperti bumi, hati dan mungkin puisi
yang berkata lewat sepi, lewat usia
kepadaku

Maka siapkan waktu
dengan suara-Mu tegap
yang sediam lembut
detik-detik darah tersekap
sementara baringkan
kota dalam tidur jauh malam

Berikan pula kami antara diam ini
percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
yang makin tebal bila larit. Hanyalah lengang
yang terentang di ruang kusut. Tapi kami yang diam
bisa bicara, Tuhan, dalam selaksa warna-warni
Dan tak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan seperti ini
yang terhuni
suara-suara bersendiri.
Tak ada perlunya sorga yang jauh
yang pasi dingin menyintuh:
tanah yang dijanjikan
dan telah ditinggalkan

Memusat matahari di bumi yang siang
Terpukau air kemarau, rumputan kering di padang-padang
Ini pun satu malam, dan kami mengerti
jauh dari indera yang telanjang. Di tepi-tepi
mencegah terik: Namun di manakah sedih, suara fana,
antara bisik-bisik jantung mengungkapkan kata-kata?

Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”


Maka berikanlah sunyi itu kembali
Sebab kami mengerti: Engkau tak hendakkan
kami terima sedih ala mini,
alam yang sendiri,
yang terhampar jauh, sahabat tak terduga
Kabarkan: Apa lagikah yang terucapkan,
dalam gaung waktu bersahutan
yang begini damai, senyap,
Tuhan, begini menyekap,


1962

Expatriate

Akulah Adam dengan mulut yang sepi
Putra Surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai

Detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian

Dan esoknya terbukalah gapura:
pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga
dan aku pergi
dengan senyum usia yang sunyi

Langkah akan bergegas antara phonan lengang
Bersama baying-bayang unggas, bersama awan
Sementara arus hari
Menyusup-nyusup indra ini

(Adakah yang lebih tak pasti
selain tanah-kelahiran
yang ditinggalkan pergi
anak tersayang)

1962

Lagu Pekerja Malam

Lagu pekerja malam
Di sayup-sayup embun
Antara dinamo menderam
Pantun demi pantun

Lagu pekerja malam
Lagu padat damai
Lagu tak terucapkan
Jika dua pun usai

Tangan yang hitam, tangan lelaki
Lengan melogam berpercik api
Dan batu pun retak di lagu serak:
Majulah jalan, majulah setapak

Nada akan terulang-ulang
Dan lampu putih pasi:
Panjang, alangkah panjang
Dini hari, o, dini hari!

Lagu pekerja malam
Lagu tiang-tiang besi
Lagu tak teralahkan
Memintas sepi


1962