Tuesday, January 13, 2009
Berjaga padamukah Lampu-lampu Ini, Cintaku
Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku
Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat
1963
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku
Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat
1963
Surat Cinta
Bukankah
ditulis ke arah siapa saja
Seperti hujan yang jatuh rimis
menyentuh arah siapa saja
Bukankah
berkisah melintas lembar bumi yang fana
Seperti misalnya gurun yang lelah
dilepas embun dan cahaya
1963
Kepada Kota
dari guhamu beribu gema
Hindarkan saat-saat yang senyap: udara mengertap
deru mobil dan huruf-huruf berlampu kerjap
Apabila engkaulah setia, tenangkanlah,
hatimu yang mendengar semesta dunia
Biarkan kini terjaga
Biarkan bumi semakin bergesa
1963
Meditasi
dalam tiga waktu
dalam gaung waktu bersahutan?
Di empat penjuru
malaikat pun berlagu, lewat kabut
dan terasa
hari berbisik
Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”
Maka terbacalah.
Tapi terbaca juga sepi ini kembali,
menggetar, pada senyum penghabisan
dan terjatuh dalam sajak,
sajak yang melambaikan tangan, terbuka
dan bicara dengan senja di atas cakrawala:
ada sesuatu yang terpandang bening
dalam diriku, antara dinding,
di mana terbubuh nama-Mu,
yang menjanjikan damai itu.
Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
mengisinya: tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan
segala ini? Tidakkah semacam duka
untuk memburu setiap kata, setiap dusta
tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah
yang penuh penjuru
seperti bumi, hati dan mungkin puisi
yang berkata lewat sepi, lewat usia
kepadaku
Maka siapkan waktu
dengan suara-Mu tegap
yang sediam lembut
detik-detik darah tersekap
sementara baringkan
kota dalam tidur jauh malam
Berikan pula kami antara diam ini
percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
yang makin tebal bila larit. Hanyalah lengang
yang terentang di ruang kusut. Tapi kami yang diam
bisa bicara, Tuhan, dalam selaksa warna-warni
Dan tak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan seperti ini
yang terhuni
suara-suara bersendiri.
Tak ada perlunya sorga yang jauh
yang pasi dingin menyintuh:
tanah yang dijanjikan
dan telah ditinggalkan
Memusat matahari di bumi yang siang
Terpukau air kemarau, rumputan kering di padang-padang
Ini pun satu malam, dan kami mengerti
jauh dari indera yang telanjang. Di tepi-tepi
mencegah terik: Namun di manakah sedih, suara fana,
antara bisik-bisik jantung mengungkapkan kata-kata?
Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”
Maka berikanlah sunyi itu kembali
Sebab kami mengerti: Engkau tak hendakkan
kami terima sedih ala mini,
alam yang sendiri,
yang terhampar jauh, sahabat tak terduga
Kabarkan: Apa lagikah yang terucapkan,
dalam gaung waktu bersahutan
yang begini damai, senyap,
Tuhan, begini menyekap,
1962
Expatriate
Akulah Adam dengan mulut yang sepi
Putra Surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai
Detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian
Dan esoknya terbukalah gapura:
pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga
dan aku pergi
dengan senyum usia yang sunyi
Langkah akan bergegas antara phonan lengang
Bersama baying-bayang unggas, bersama awan
Sementara arus hari
Menyusup-nyusup indra ini
(Adakah yang lebih tak pasti
selain tanah-kelahiran
yang ditinggalkan pergi
anak tersayang)
1962
Putra Surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai
Detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian
Dan esoknya terbukalah gapura:
pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga
dan aku pergi
dengan senyum usia yang sunyi
Langkah akan bergegas antara phonan lengang
Bersama baying-bayang unggas, bersama awan
Sementara arus hari
Menyusup-nyusup indra ini
(Adakah yang lebih tak pasti
selain tanah-kelahiran
yang ditinggalkan pergi
anak tersayang)
1962
Lagu Pekerja Malam
Lagu pekerja malam
Di sayup-sayup embun
Antara dinamo menderam
Pantun demi pantun
Lagu pekerja malam
Lagu padat damai
Lagu tak terucapkan
Jika dua pun usai
Tangan yang hitam, tangan lelaki
Lengan melogam berpercik api
Dan batu pun retak di lagu serak:
Majulah jalan, majulah setapak
Nada akan terulang-ulang
Dan lampu putih pasi:
Panjang, alangkah panjang
Dini hari, o, dini hari!
Lagu pekerja malam
Lagu tiang-tiang besi
Lagu tak teralahkan
Memintas sepi
1962
Di sayup-sayup embun
Antara dinamo menderam
Pantun demi pantun
Lagu pekerja malam
Lagu padat damai
Lagu tak terucapkan
Jika dua pun usai
Tangan yang hitam, tangan lelaki
Lengan melogam berpercik api
Dan batu pun retak di lagu serak:
Majulah jalan, majulah setapak
Nada akan terulang-ulang
Dan lampu putih pasi:
Panjang, alangkah panjang
Dini hari, o, dini hari!
Lagu pekerja malam
Lagu tiang-tiang besi
Lagu tak teralahkan
Memintas sepi
1962
Subscribe to:
Posts (Atom)