Hari masih gelap, hari Rabu itu,
ketika Marco Polo pulang,
jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian.
I
Di dermaga Ponte Rialto tak
dikenalinya lagi
camar pertama. Di parapet jembatan
itu
tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua
yang menyela kabut
sepanjang kanal.
Hanya dilihatnya seorang perempuan
Vietnam
mendaki tangga batu yang bersampah.
Dan Marco Polo tak tahu pasti
apakah perempuan itu bernyanyi
di antara desau taksi air.
Apakah ia bahagia.
Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam
yang berdiri sejak tadi di bawah
tiang lampu
di depan kedai pizza, selama angin
merekatkan gerimis.
"Kalian datang dari mana?," pengelana Venezia itu bertanya.
"Tidak dari jauh," jawab perempuan itu,
"Tidak dari jauh," jawab orang hitam itu.
Dan camar pertama itu terbang.
Ia pernah kenal pagi seperti ini:
pagi yang dulu tak menghendakinya
pergi.
II
Bau kopi pada cangkir
sebelum kantin membuka pintunya,
bau lisong pada kursi
yang
masih belum disiapkan:
yang tak berumah di kota ini
tak akan pernah memulai hari.
III
Dua jam ia coba temukan tanda delima
yang pernah diguratkan diujung tembok
lorong-lorong sempit.
Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,
tak lagi menengok
ke arahnya.
IV
Di Plaza San Marco, dari dinding
Basilika
malaikat tak bertubuh
menemukan gamis yang dilepas.
"Adakah kau lihat,
seseorang telah menemukan seseorang
lain
dan berjalan telanjang
ke arah surga?"
Tak ada yang menjawab.
Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.
Tapi dari serambi kafe
orkes memainkan La Cumparsita
dan kursi-kursi putih menari
tak kelihatan, sampai jauh malam
Ketika kemudian datang hujan yang
seperti tak sengaja,
seorang turis tua berkata: "Akan
kubeli topi Jepang
yang dijajakan pada rak,
akan kupasang
ke kepala anak yang hilang dari
emaknya."
V
Menjelang tengah malam, para pedagang
Benggali
masih melontarkan benda bercahaya
ke menara lonceng. "Malam belum selesai", kata mereka,
"malam belum selesai."
Marco Polo mengerti.
Ia teringat kunang-kunang.
VI
Cahaya-cahaya
setengah bersembunyi
pada jarak 3 kilometer dari laut
Dan di laut itu
terbentang
gelap aneh yang lain.
“I
must be a mermaid, Rango. I have no fear of depths
and a great fear of shallow living.” ― Anaïs Nin
VII
Esoknya hari Minggu, dan dibilik
Basilika padri itu bertanya:
"Tuan yang lama
bepergian, apa yang akan tuan akui
sebagai dosa?"
Marco Polo: "Iman yang tergesa-gesa".
"Saya tak paham."
Marco Polo: "Aku telah
menyaksikan kota yang sempurna.
Dindingnya dipahat dengan ekses dan
peperangan
di mana tuhan tak menangis."
Di Hotel Firenze yang sempit
Marco Polo bermimpi angin rendah
dengan harum kemuning.
Ia terbangun.
Ia lapar,
ia tak tahu.
Ia kangen.
ia tak tahu.
Ia hanya tahu ada yang hilang dari
slimutnya:
warna ganih, bau sperma,
dan tujuh remah biskuit
yang pernah terserak
di atas meja.
IX
Pada jam makan siang
dari ventilasi kamar
didengarnya imigran-imigran Habsi
bernyanyi,
Aku ingin mengangkut hujan dari kaki
dewa-dewa,
aku ingin datangkan sejuk sebelum
tengah hari besok,
aku akan lepaskan perahu dari kering.
Di antara doa dan nyanyi itu
derak dayung-dayung gondola
mematahkan
sunyinya.
Sebulan kemudian.
Di hari Senin itu
musim mengeras tua
dan Marco Polo membuka pintu.
Cuaca masih gelap.
Jam 6 pagi.
Biduk akan segera berangkat.
"Tuanku, Tuhanku,
aku tak ingin pergi."
Ia berlutut.
Ia berlutut tapi dilihatnya laut
datang
dengan paras orang mati.
__
2013