1
Seperti pengungsi dari gempa, Mishima
(aku bayangkan ia Mishima) pulang.
Lanskap rusak. Tapi ia ingin bergerak, kemudian tua.
Dan terbaring.
Dan Mishima
terbaring, menatap langit-langit,
dari
tikar yang disepuh musim.
Rambutku
hilang, ia berkata,
rambutku
hilang. Tapi lihat,
aku
tahu di mana aku tak akan ada lagi.
Setumpuk
arang panas
menghangatkan
kakinya.
2
Di detik-detik berikutnya,
ruang itu mendengarkan jam:
Siul
cerek melengking
dari
didih air, sebelum
dusun
tertidur.
Malam
menyeduh teh,
sup
telah masak.
Seolah-olah semua
membiarkan kata-kata
berhenti
pada shoji.
3
Di luar
ashram, tiga hantu dari kuil
memukulkan beliung
pada paras waktu dan berkata:
Kau
tahu, aku tahu, kita tahu.
4
Aku bayangkan Mishima berkata:
mimpi membujukku
dengan luka Santo
Sebastian
Tujuh anak panah
yang menembus tubuhnya yang berahi
meregang di pusarku.
5
30
tahun yang lalu aku pernah bersamamu ke Yudanaka
dengan
kereta api pelan. Oktober meminta kita
menghirup
warna daun. Tapi kau menyanyi kecil
dan membuka kutang, dan dua jam kemudian
di tepi
bak air panas, kutemukan namamu
yang
terhapus.
Minum, kau berbisik.
Minum.
Tattoo
di lengan itu mengeriput seperti
daun
terakhir. Tubuhmu sebuah kemarau:
anasir
dan peristiwa
yang
tak menyentuh lagi.
6
Seharusnya
aku Narsisus
dengan
tukak lambung
yang tak bercermin
ke
wajah air.
Seharusnya
aku Narsisus dengan amis ikan
yang meludah dan bersetubuh
di kolam itu
dengan arwah
dan
humus hutan.
Mungkin
aku tak kenal sakit hati
yang
membalas.
Aku membaca tiap frase mitologi,
aku
selalu ingin melengkapi: pedang
dengan
matahari.
kembang dengan keringat, sungai
dengan
sperma
yang
tipis tertahan.
Apa
yang tak bisa kita cintai sebenarnya
dari
carut-marut bumi?
Seharusnya
aku Narsisus, yang memandang
gerak-gerik
mendung:
burung-burung
Yunani yang sewarna
membentuk
huruf. Tak punya arti
Dan tak
pernah menengok ke kolam.
7
Lewat
pintu geser, Mishima seakan melihat mereka,
dalam asap rokok: Kelasi kapal-kapal
yang kalah
yang disembunyikan
di kotak waktu.
Rumah makan unagi ini tak mau mengungkapnya.
Di lantai dua, tamu-tamu beku. Botol-botol beku.
Di
dinding ada kanvas: hutan Guadalkanal,
pasir yang tak tersentuh perang,
pematang yang naik turun,
pengantin
yang diusung ke tengah semak
dengan
nyanyian hampir mabuk.
Tapi
selalu ada orang yang seperti aku, kata Mishima,
yang
tak ingin cerita alternatif.
Hari hanya satu narasi.
Tuhan menamainya kematian.
Dan Mishima
terbaring, menatap langit-langit,
dari
tikar yang disepuh musim.
2016