Dengan raut kusut, dengan
kaus apak
dan
bibir luka, Don Quixote diminta berdiri
di
balkon itu,
menghadap
ke arah plaza.
Kota terhenyak.
“Ecce homo!”,
seru tuan rumah.
Suara
tertawa meningkah.
Tapi dari tepi jalan di bawah
orang-orang terus menatapnya.
“Ia
tak bermahkota duri, papa”, kata seorang anak.
“Ya,
tapi ia tahu apa yang kita tak tahu,” sahut ayahnya.
“Apa
yang ia tahu, papa?”
“Seorang
ksatria dilahirkan kembali
ketika
penghinaan
tak melukainya.”
Satu
jam kemudian tuan rumah menyuruh orang ramai
mengarak Don Quixote di panas terik
ke
ujung jalan.
Sang majenun tahu, tapi ia hanya diam,
di
kota ini tak ada yang pernah bertanya
tentang
tamu, waham, kematian.
Tapi
ia hanya diam.