Wednesday, May 02, 2012

’In the Wee Small Hours’

Izinkan saya menulis tentang dinihari. Tentang jam-jam para insomniak, ketika malam sudah tak bisa disebut malam tapi pagi belum datang. Tentang orang-orang yang tak tidur, seperti kau dan aku, tak bisa tidur, mereka yang terpekur atau bengong atau bekerja apa saja, berdoa apa saja, mereka yang mencoba melupakan kesendirian, atau justru memasuki kesendirian.

Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru (sebuah e-mail datang dan kamu mengingatkan saya, mengutip Paulo Coelho), ”saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.

Kesementaraan, juga kelebihan. Barangkali kedua-duanya yang membuat dinihari mempertautkan manusia dengan yang kekal. Di biara yang jauh dari keramaian, para rahib bangun pukul 03.30 pagi. Masing-masing melakukan doa pribadi di bilik yang sempit. Pada pukul 04.00, misa bersama mulai.

Dan selama Ramadan, makan sahur dilakukan di saat itu pula. Orang bisa mengatakan, fisik kita perlu dijaga dengan beberapa suap nasi sebelum puasa 12 jam. Tapi jangan-jangan semua itu bukanlah buat kesehatan—makan di jam seperti itu justru tidak membantu metabolisme tubuh—melainkan buat merasakan hubungan antara yang indrawi, yang badani, dan transisi saat. Ketika kita tahu hidup begitu sejenak, kita pun akan bertanya adakah segalanya juga fana—dan tidakkah pengertian tentang ”fana” hanya bisa dimengerti jika ada yang ”bukan-fana”, jika disandingkan dengan yang abadi? Meskipun yang abadi tak pernah kita alami?

Dalam gelap dinihari, jika yang abadi bisa terasa hadir, mungkin karena ada hubungan antara keabadian dan kuasa, dan ada hubungan kuasa dengan misteri. Ia tak pernah bisa ditebak. Ia semacam peringatan akan apa yang kurang pada kita—yang menyebabkan kita selamanya terbelah, antara kini yang rapuh dan kelak yang tak jelas, antara kini yang hadir dan kelak yang kita tak pernah tahu.

Justru karena dinihari juga akan berhenti. Ia juga bagian dari keterbatasan dan kesementaraan. Gelap tak bisa mutlak. ”Aku tak takut gelap,” kau bilang. ”Dalam gelap aku bisa menemukan kedamaian.” Tapi mungkin juga karena kita temui gelap tak sendirian: ia sebuah beda, ia sebuah intermezzo di dunia yang diberondong cahaya. Ada cahaya surya yang tua, ada cahaya yang dibikin Thomas Alva Edison, ada cahaya bintang yang sporadis, ada kilau lampu-lampu iklan yang kian agresif. Maka gelap adalah selingan dari terang yang gaduh. Kita tahu terang telah jadi bagian dari proyek manusia menguasai bumi—yang tak membuat kedamaian hal yang lumrah.

Tapi tak selamanya gelap sebuah intermezzo. Ia bisa jadi awal putus harapan. Pada 1815, lebih dari separuh abad sebelum Krakatau, sebuah gunung di Nusantara meletus. Sampai setahun berikutnya, debu yang muncrat dari kepundan Tambora itu menutupi langit. Matahari terkurung cadar tebal. Bulan padam. Di Eropa, tahun berikutnya semacam perubahan cuaca terjadi. Tahun itu kemudian diingat sebagai ”tahun tanpa musim panas”. Pada tahun itu pula penyair besar Inggris Lord Byron menulis sebuah sajak yang memukau, Darkness.

…dan bintang-bintang

menggelandang di ruang kekal

tanpa sinar, tanpa jalur,

dan Bumi yang dingin

bergoyang, buta…


Terkurung gelap debu Tambora itu, pagi datang dan pergi, tak membawa siang. ”Morn came and went—and came, and brought no day.” Dan ombak mati, pasang berdiam di kuburnya, sementara Bulan, ”tuan putri mereka, telah padam sebelumnya.” Angin pun lingsut di udara yang tak bergerak, awan musnah. Tapi, tulis Byron, ”Gelap tak perlu bantuan dari mereka. Gelap adalah Alam Semesta itu sendiri. She was the Universe.”

Sedikit berlebihan, tentu saja, seperti setiap sajak. Sebab selalu ada jarak antara alam semesta dengan gelap dan terang. Itulah sebabnya dinihari begitu penting: perbatasan; transisi; pertemuan dua hal, momen perbedaan, momen ketidakstabilan, tapi juga keterbukaan.

Mungkin itulah kita bisa saling merindukan—kita yang lain, kita yang beda, kita yang mungkin belum pernah bertemu. Di jam-jam awal dari hari, di dinihari, ketika kita dengarkan dengan sedikit tergetar oleh kangen yang tak terelakkan Sting menyanyi, ”In the wee small hours of the morning.” Dan kita dengar trompet Chris Botti meningkah, dan terasa, semua yang akan berakhir sejenak seperti sesuatu yang abadi.




Oktober 2008
Goenawan Mohamad

Sebuah Sajak Rimbaud, Sebuah Lagu Ferre


Léo Ferré menafsir-nyanyikan salah satu sajak Rimbaud yang terkenal, 'Les Poets de Sept Ans' (Para Penyair Berumur Tujuh Tahun) -- satu cara mempertemukan musik dan puisi ('musikalisasi puisi') yang membariskan kata-kata ke depan, sementara yang musikal mengiringi, atau mengantar, yang verbal, ibarat penabuh genderang dan nafiri.

Ferré (1916-1993) sendiri seorang penyair. Ia bahkan pernah menulis novel, meskipun ia sejak awal terpaut pada musik, mencintai karya Ravel dan  dan akhirnya dikenal sebagai penggubah lagu dan penyanyi.  Salah satu lagi gubahannya yang terkenal, 'Avec Le Temps' (Bersama Waktu), menunjukkan ia melanjutkan corak melodi chanson Prancis yang kelihatan pada lagu-lagu sejak Edith Piaf, J. Berl sampai dengan Francoise Hardy:  liris, dengan emosi yang tak ditahan, antara melankoli dan gairah.  Saya pernah melihat dalam YouTube Jane Birkin menyanyikan itu: matanya basah. 

Ferré, seorang Anarkis, juga menggubah musik untuk puisi Baudelaire, penyair yang 'dikutuk' itu, dan puisi Aragon, penyair surrealis yang kemudian jadi tokoh sastra Partai Komunis.

Sajak Rimbaud ini  (ditulis 26 Mei 1871) pertautan yang memukau antara baris-baris naratif dan imajistis: anak-anak adalah penyair, dan penyair adalah anak-anak, yang diam-diam memberontak kekangan Sang Ibu. Sang pengawas tak tahu bahwa si anak mencemooh,  bahkan menampik, apa yang dikehendakinya. Bocah itu membangkang dengan dusta: ia pura-pura patuh, tapi tiap kali Sang Ibu meninggalkannya, ia akan menjulurkan lidah mengejek. Di kamarnya, ia pun menulis novel-novel tentang 'Hutan, mentari, sungai, savana!' -- 'kehidupan padang pasir, di mana Kemerdekaan diasingkan.'  

Yang paling ingin dihindarinya adalah 'hari-hari Minggu bulan Desember', ketika ia harus duduk di depan meja besar dan membaca Alkitab.  Di malam hari mimpi akan menekannya. 'Ia tak mencintai Tuhan,', tulis Rimbaud tentang anak itu, 'melainkan orang-orang berbaju kerja warna gelap/ yang berjalan kembali ke tepi kota/ ketika senja menguning-jingga.'

Suara Ferré berat tapi terang. Di akhir nyanyiannya (atau pembacaannya?), ia ledakkan kata-kata Rimbaud: si anak, sendirian terbaring di secarik kain kanvas kasar, merasakan dengan sangat akan datang layar kapal. Sebuah alusi tentang perjalanan yang jauh.  Imajinasi selalu akan membebaskan diri.


Juli 2011
Goenawan Mohamad