Thursday, October 13, 2016

PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DON QUIXOTE

Ketika para pembaca bertanya berapa lamakah Don Quixote mencintai Dulcenia, tokoh novel ini, (tanpa diketahui sang pencerita),  menjawab: bertahun-tahun --  sejak ladang-ladang terbentang di La Mancha. Di rumah warisan di sudut dusun itu  khayal kadang jadi badai, dan badai menghalau penabur, dan penabur merelakan benih di kantungnya:  yang ranum jadi gergasi, yang rapuh jadi cacing, yang gabuk entah.   Tapi aku pohon gabus yang menyendiri, kata Don Quixote dengan nada rendah. Kulitku tertoreh.  Maka kutatah tubuhku mencari Dulcenia.

Tapi tuan terlampau tua untuk itu, protes para pembaca.  Don Quixote mengangguk, pelan:  Barangkali. Aku alpa. Aku menyembunyikan diri dalam bahasa Mur. Aku sesekali merangkak ke dalam kitab lusuh, aku tinggal di alcaná,  sebagai Yahudi tak berjanggut ketika Taurat dimusnahkan. Aku  pernah menyaksikan perumpamaan terhapus dan pelan-pelan aku membuat amsal baru.  Bapa-kami di surga, kau matikan kehendakku.  Sejak itu aku berhenti tertawa dan Rocinante mengangkutku.

Tuan tak pernah ragu tentang siapa Tuan?, tanya seorang pembaca.  Don Quixote tak menyahut. Tuan tak pernah meragukan Dulcenia? tanya pembaca yang lain. Don Quixote hanya memandang ke arah jalan.

Mungkin ia teringat malam itu,  di bilik kecil,  di sebuah kastil tempat ia diperdayakan.  Letih, lapar, terpisah, ia kunci pintu.  Ia tak lepaskan baju zirahnya. Ruang itu dingin. Dua lilin tak ingin menampakkan semuanya: sepasang sepatu dengan lars berlumut, sepasang kaus kaki yang setengah menghijau, tungkai kiri yang sakit bersentuhan dengan dunia. Ia berjalan ke jendela karena  ia seakan mendengar seorang gadis bernyanyi di halaman:   aku mengagumimu, ksatria La Mancha.

Ia tahu,  semua hanya olok-olok, kecuali kesedihan. Ia tak menginginkan fantasi baru. Di ruang persegi itu, dalam gelap,  ia selintas menemukan kembali waswasnya yang lama.  Jangan-jangan Dulcenia tak ada, tak pernah ada.



2016