Ketika
para pembaca bertanya berapa lamakah Don Quixote mencintai Dulcenia, tokoh
novel ini, (tanpa diketahui sang pencerita),
menjawab: bertahun-tahun -- sejak
ladang-ladang terbentang di La Mancha. Di rumah warisan di sudut dusun itu khayal kadang jadi badai, dan badai menghalau
penabur, dan penabur merelakan benih di kantungnya: yang ranum jadi gergasi, yang rapuh jadi
cacing, yang gabuk entah. Tapi aku
pohon gabus yang menyendiri, kata Don Quixote dengan nada rendah. Kulitku
tertoreh. Maka kutatah tubuhku mencari
Dulcenia.
Tapi
tuan terlampau tua untuk itu, protes para pembaca. Don Quixote mengangguk, pelan: Barangkali. Aku alpa. Aku menyembunyikan diri
dalam bahasa Mur. Aku sesekali merangkak ke dalam kitab lusuh, aku tinggal di alcaná, sebagai Yahudi tak berjanggut ketika Taurat
dimusnahkan. Aku pernah menyaksikan
perumpamaan terhapus dan pelan-pelan aku membuat amsal baru. Bapa-kami di surga, kau matikan
kehendakku. Sejak itu aku berhenti tertawa
dan Rocinante mengangkutku.
Tuan
tak pernah ragu tentang siapa Tuan?, tanya seorang pembaca. Don Quixote tak menyahut. Tuan tak pernah
meragukan Dulcenia? tanya pembaca yang lain. Don Quixote hanya memandang ke
arah jalan.
Mungkin
ia teringat malam itu, di bilik
kecil, di sebuah kastil tempat ia
diperdayakan. Letih, lapar, terpisah, ia
kunci pintu. Ia tak lepaskan baju
zirahnya. Ruang itu dingin. Dua lilin tak ingin menampakkan semuanya: sepasang
sepatu dengan lars berlumut, sepasang kaus kaki yang setengah menghijau,
tungkai kiri yang sakit bersentuhan dengan dunia. Ia berjalan ke jendela
karena ia seakan mendengar seorang gadis
bernyanyi di halaman: aku mengagumimu, ksatria
La Mancha.
Ia
tahu, semua hanya olok-olok, kecuali
kesedihan. Ia tak menginginkan fantasi baru. Di ruang persegi itu, dalam
gelap, ia selintas menemukan kembali
waswasnya yang lama. Jangan-jangan
Dulcenia tak ada, tak pernah ada.
2016